“Akhirnya kita sampai,” gumam Kenzie setelah Ulqi-nya padam.

Aku langsung mengedarkan pandangan dengan takjub. Sebuah kota yang temaram nan elok membentang luas. Kota ini dipenuhi pohon-pohon raksasa yang dijadikan tempat tinggal, rasanya benar-benar seperti kota peri.

Kenzie menarik tanganku lagi dan mengajak berlari menyusuri kota. Aku terus mengedarkan pandangan sambil berlari. Kota ini begitu indah dengan balutan gelap dengan cahaya yang minim, seperti malam bulan yang dihiasi kunang-kunang penuh warna.

“Kota apa ini?”

“Ini kota Lignum, kota ini berada di bawah tanah kota Zarakh. Selama perang berlangsung penduduk akan di evakuasi ke tempat ini.” Kenzie menatapku sesaat. “Sudah kuduga kau menyukainya.”

“Ini benar-benar luar biasa. Bagaimana bisa ada kota di bawah kota seperti ini? Aku benar-benar takjub,” ucapku terpesona.

“Kota ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Steve. Dia yang mendirikan tempat ini untuk menyelamatkan warga untuk meminimalisir korban jika perang terjadi.”

Mendengar nama Raja Steve, beberapa ingatan Karin bermunculan dan aku jadi memikirkan Alex. Apa yang terjadi pada pemuda itu? Di mana dia sekarang? Bukannya tadi ia yang membawaku ke danau? Sekarang ia malah tak menampakan dirinya lagi. Juga—apa hubungannya dengan Felix? Apa mereka sama seperti hubunganku dengan Karin?

“Di sana rumahku.” Kenzie menunjukan sebuah pohon yang paling terpencil di antara pohon-pohon lain.

Kami berlari semakin cepat mendekati rumah yang ditunjuk Kenzie.

“Sejak kapan kau punya rumah di sini? Bukankah selama ini kau hidup sebagai Manusia?”

“Maaf, saat itu aku tidak berani menceritakan semuanya padamu dari awal.” Kenzie menatapku sendu. “Aku takut jika kau tahu siapa aku, kau akan berlari menjauhiku. Sebagai penebus kesalahanku, aku akan memberi tahu semuanya yang ingin kau ketahui kecuali ... Alex.”

“Baiklah. Kalau begitu beri tahu aku semuanya.”

“Tentu, mari kita bicara di dalam.”

Kenzie membuka pintu dan aku mengikutinya masuk ke dalam. Beberapa penerangan mulai menyala dengan sendirinya. Aku sedikit terpana melihat seisi ruangan. Sangat minimalis dengan besain yang elok. Aku jadi berharap bisa memiliki rumah mungil seperti ini.

Di sudut ruangan terdapat tangga menuju lantai dua, melingkar mengikuti dinding yang bundar. Ya, bentuk dinding rumah ini memang mengikuti bentuk pohonnya, hanya ditambah sedikit undakan dan dibongkar menjadi balkon dan jendela. Di bawah tangga sudah terdapat sofa kecil yang terbuat dari akar pohon yang dipilin. Tempat duduknya dilapisi balutan kapas yang dibungkus dengan daun-daun lembut yang saling merekat.

“Aku tahu kau menyukainya, Karin.” Kenzie membanting diri ke sofa. “Aku tau ini gayamu. Waktu kecil kau bilang padaku ingin memiliki rumah yang unik. Aku menertawakanmu dan sekarang keinginanmu justru menjadi inspirasiku saat mendesain rumah ini.” Kenzie menyeringai pada dirinya sendiri.

Aku kembali menggali ingatan Karin, ternyata memang benar. Jujur, aku menyukainya. Aroma kayu rumah ini begitu kuat, tapi ada sedikit aroma mint yang membuatnya terasa lebih segar dan—dingin.

Aku duduk di kursi kecil yang berseberangan dengan Kenzie. “Aku menyukainya. Bahkan aku—sampai tak bisa mengucapkan apa pun. Tempat ini benar-benar luar biasa.”

Kenzie mengubah posisi duduk tegap dan menyandarkan punggung. “Nah, apa kubilang. Kau pasti menyukainya. Tunggu sebentar, aku akan membuatkan minum untukmu.”

“Tidak perlu repot-repot, aku bisa membuatnya sendiri nanti.”

“Ingat, ini bukan dunia Manusia. Kau harus tahu banyak hal jika kau mau tinggal di Loizh meski hanya sementara. Aku tidak tahu bagaimana kau berubah, tapi ... kau perlu istirahat sejenak. Anggap saja seperti rumah sendiri.”

Loizh III : ReinkarnasiWhere stories live. Discover now