Suasana kembali hening seketika dan aku kembali merasa jenuh. Tidak ada perubahan saat berjalan dengannya.

“Karin.”

“Hmm?” sahutku.

“Maaf di sini tidak ada makanan. Jadi ... bersabarlah.”

“Apa masih lama kita sampai ke dasar?”

“Kau akan tahu nanti.”

Aku memutar bola mata sambil menghela napas. Apa tidak ada jawaban lain?

Tak butuh waktu lama akhirnya kami sampai di ujung tangga dan sekarang, kami mulai memasuki lorong gelap. Begitu dingin dan lembab hingga aku bisa mencium aroma lumut basah yang berbaur dengan tanah.

“Bisa kau jelaskan sesuatu, Kenzie?”

“Setelah kita sampai, aku ingin berbicara banyak padamu. Ada banyak pertanyaan yang selalu mengangguku dan kebetulan kau di sini.” Kenzie diam sejenak. “Ditambah, aku tidak tahu bagaimana kau bisa menjadi Una,” lanjutnya.

“Kenzie—“

“Bisakah kita bicara nanti saja? Jangan berisik di tempat ini. Meski terlihat sepi, tapi bahaya bisa mengancam dimana-mana.” Kenzie menggandeng tanganku. “Dan juga jangan sampai kita terpisah di tempat ini.”

“Baiklah.”

Kami terus melangkah dalam keheningan. Hawa dingin menyelimuti setiap inci kulitku, bahkan tanganku mulai berembun. Entah berapa lama lagi kami harus berjalan. Aku bukan bermaksud mengeluh, tapi semakin dalam kami memasuki lorong, suasananya semakin mencekam.

Kenzie juga memasang tampang waspada yang membuatku merinding. Rasanya aku ingin berhenti dan kembali menaiki tangga.

Kenzie berhenti sejenak dan memadamkan Ulqi-nya dan keadaan menjadi gelap dulita, lalu ia menarik tanganku. Tubuhku menabrak dinding yang dingin, sementara genggaman Kenzie semakin erat.

“Jangan bergerak,” bisiknya.

Aku hanya menurut. Situasinya berubah menegangkan saat terdengar suara langkah kaki dari arah yang akan kami tuju. Langkah itu semakin terdengar keras yang berarti ia sedang mendekat. Aku bisa merasakan tangan Kenzie yang sedikit gemetar. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Langkah itu semakin mendekat dan ia sedang melewati kami. Aku bisa mendengar pergerakan tubuh sosok yang berjalan di depan kami, bergerutuk seperti tulang yang rapuh dan patah. Namun, semakin lama suara itu mengecil pertanda ia sudah menjauh lalu perlahan menghilang.

Kenzie kembali mengeluarkan Ulqi-nya untuk menerangi lorong. “Kau baik-baik saja?”

Aku mengangguk. “Apa tadi yang barusan lewat?”

“Penjaga lorong ini. Kita harus cepat sebelum ia kembali lagi ke sini.”

Kenzie menyeretku untuk berlari. “Kenapa kita harus melewati tempat mengerikan ini?”

“Hanya ini satu-satunya jalan di mana Ayah tidak bisa mengawasi pergerakan kita. Meskipun bahaya, tapi ancaman di sini lebih minim daripada kita lewat jalur terbuka.”

Aku termanggut mengerti, tapi tetap saja, aku belum tahu kemana Kenzie akan membawaku.

“Sabarlah, sebentar lagi sampai.”

Aku hanya mengangguk dan menurut. Dalam hal ini, mungkin Kenzie lebih tahu jadi aku tak bisa membantah.

Beberapa menit berjalan, aku melihat sinar dari kejauhan yang seperti titik putih. Sebentar lagi kami akan keluar dari lorong dan itu membuatku lega, bahkan rasanya aku ingin cepat-cepat sampai ke sana. Cahaya itu semakin membesar seiring mendekatnya kami ke pintu keluar.

Loizh III : ReinkarnasiWhere stories live. Discover now