29. Epilogue

4.3K 148 10
                                    

3 years later

[Erina Avery]

Aku sedang berjalan menatapi pemandangan indah kota Berlin. Ya, aku sudah memutuskan aku bakal tinggal di Jerman selama yang aku inginkan.

Berhenti menjadi agen merupakan hal yang tidak kusangka akan membuatku merasa se-sepi ini, meski aku memiliki satu teman di kota ini. Aku meninggalkan temanku, aku tidak punya pekerjaan. Dan segala yang kuandalkan sekarang adalah uang yang Ayah tinggalkan di rekeningku, yang untungnya mencukupi kebutuhanku selama tiga tahun ini.

Frankie masih sering menghubungiku, namun dia masih tidak tahu dimana aku tinggal saat ini. Yah, kira-kira isi percakapan kami adalah mereka yang meminta aku kembali menjadi agen di DC.

Bisa kubilang, aku mulai tertutup pada orang-orang belum lama ini. Juga ada satu hal yang tidak boleh kalian contoh. I swear so many times, like a lot.

Oh ya, teman yang aku sebutkan tadi adalah seorang lelaki. Ingat, dia bukan pacarku. Kami hanya berteman, sungguh.

Ah, baru saja dibicarakan, dia sudah menelponku.

"Halo? Anton, ada apa?"

'Oh, Erin, apa kau tidak kesulitan menyebut namaku yang sulit itu? Panggil saja aku Zedd. Oke?' Anak ini.

"Aku menghabiskan minggu-mingguku untuk menghafalkan namamu, Anton Zaslavski. Kau bakal membuat perjuanganku melakukan itu sia-sia?" Candaku.

'Kau sangat lebay, Erina. Panggil aku Zedd saja, atau aku bakal menggelitikimu sampai mati.' Ancamnya.

"Aw, aku takut." Cibirku.

'Yeah, kau memang seharusnya takut.'

"Kau tahu, aku cukup pandai dalam hal menembak. Semua pistol dan senapan itu, oh jangan lupakan pisau-pisaunya." Yah, aku memberitahu Zedd semuanya. Kupikir aku bisa mempercayainya, dia sudah baik denganku sejak aku baru saja turun dari pesawat.

'Erina, kau menyeramkan, oke? Jangan bicara satu kata lagi soal senjata, dan kembalilah ke apartemenmu. Aku akan bawa makanan.'

"Kau serius? Astaga, kau baik sekali An--maksudku, Zedd!"

'Yeah, yeah, aku tahu itu. Ditambah lagi aku tampan, pandai membuat musik--'

"Kau terlalu bangga pada dirimu, Zedd. Now shut that damn mouth because I look like an idiot who's calling her idiot friend." Sudah kubilang. Tapi aku bermaksud bercanda, sungguh!

'Ooookay. Gee.' Katanya yang dilanjutkan dengan tawaan.

"Uhm, aku bakal beli minuman, oke? Sampai jumpa." Kataku, lalu mematikan panggilannya.

Aku memasukkan ponselku ke saku. Lalu melangkahkan kakiku menuju Starbucks.

"Dua Pumpkin Spice Latte, ukuran Grande." Aku memesan minumanku.

"Satu Pumpkin Spice Latte, ukuran Grande." Aku mendengar suara seorang yang familiar. Seperti Ryder.

Aku menggelengkan kepalaku cepat. Singkirkan pikiranmu Erin, Ryder sudah meninggal. Mungkin yang ini cuma punya suara yang mirip.

"Ini pesananmu, Nona. Selamat menikmati." Kata pelayan tersebut sambil memberikan minumanku. Aku secepat mungkin mengambilnya dan keluar dari Starbucks.

Aku berjalan kaki menuju apartemenku, karena--kalau boleh jujur-- biaya taksi di Berlin cukup mahal.

Tidak biasanya aku merasa seperti ini. Seperti seseorang sedang mengikutiku.

Seseorang yang memiliki hubungan denganku.

Ah, itu tidak penting. Aku berjalan lebih cepat, namun aku merasa seseorang di belakangku ini juga berjalan lebih cepat.

"Kau tidak perlu takut. Aku bukan penguntit, Erina." Dia tahu namaku?

"Bagaimana kau tahu--Ryder?" Aku terkejut saat aku membalik badan. Ryder ada di depan mataku. Dia masih hidup?

"Kau merindukanku, E?"

the end

The Last Mission ✔️Where stories live. Discover now