08

35.7K 2.7K 146
                                    

ACARA upacara bendera yang biasa dilakukan di setiap hari senin mendadak heboh saat sedang pembacaan UUD 1945. Hal itu dikarenakan ada salah satu peserta upacara yang jatuh pingsan. Tentu beberapa guru langsung menghampiri siswi yang pingsan tersebut dan segera membopong anak muridnya ke UKS.

Gadis yang pingsan tadi tak lain tak bukan adalah Juni. Akibat kelelahan dengan tugas OSIS dan sekolahnya, kondisi kesehatan Juni akhir-akhir ini semakin menurun. Jadi wajar saja kalau gadis itu akhirnya terjatuh pada saat upacara bendera.

Juna yang melihat kejadian itu pun langsung bergegas ke ruang UKS tepat setelah upacara bendera selesai. Lelaki itu langsung menghampiri Juni yang masih terkulai lemas di atas salah satu bangkar. Wajah Juna terlihat sangat khawatir dengan kondisi gadis itu. Apalagi Juni masih belum membuka mata.

Juna mondar-mandir khawatir di dekat Juni. Padahal dokter sekolah sudah bilang kalau Juni tidak kenapa-napa. Gadis itu hanya kelelahan dan kekurangan asupan makanan. Tapi tetap saja Juna kekeh ingin menemani Juni sampai gadis itu siuman.

Perlahan mata Juni terbuka. Gadis itu bergumam pelan sembari menyentuh kepalanya yang terasa pusing. Melihat hal itu, Juna langsung mendekati Juni. "Jun, lo enggak apa-apa? Ada yang sakit? Perlu gue bawa ke rumah sakit?" cerocos Juna dengan nada suara yang terdengar panik.

"Enggak, gue enggak apa-apa, kok," ucap Juni pelan.

"Gue beliin lo makanan, deh. Lo mau makan apa?" tanya Juna.

Juni menggeleng. "Enggak, enggak usah. Gue enggak apa-apa, kok," ucap Juni lagi.

Juna mendengus kesal. "Lupa kalo tadi abis pingsan di lapangan sekolah? Untung aja tadi ada yang nangkep lo, coba aja kalo, enggak? Bisa fatal, Jun!" kata Juna. "Lagian lo udah gue bilangin berulang kali. Sarapan itu penting! Pasti lo tadi pagi gak sarapan. Emang bebel banget jadi anak."

"Udahlah, lagian gue enggak kenapa-napa. Gak usah sampe segitunya banget sih," gerutu Juni kesal.

"Gue khawatir sama lo, Jun," ucap Juna.

Seketika itu suasana berubah menjadi hening. Keduanya saling menatap satu sama lain tanpa hendak membuka suara. Jantung mereka secara bersamaan berdetak semakin cepat. Juna yang terlebih dahulu memutuskan untuk membuang pandangannya.

Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Maksud gue nanti nyokap lo khawatir," kata Juna kikuk.

"Enggak mungkin," ucap Juni pelan.

"Heh, gak boleh kayak gitu!" tegur Juna.

Juni tak memedulikan ucapan Juna. Gadis itu justru bangkit dari duduknya, berniat turun dari atas bangkar.

"Lo mau ke mana?" tanya Juna.

"Ruang OSIS. Sekarang ada jadwal rapat anggota. Gue sebagai ketua harus hadir," ujar Juni. Gadis itu hendak turun dari bangkar, namun dengan sigap Juna menahan tangan gadis itu.

"Lo itu, bandel banget. Astaga, bahkan lo lebih bandel daripada anak bocah," omel Juna saking gemasnya dengan sifat Juni yang keras kepala. "Dibilangin gak usah ikut rapat OSIS dulu, bandel banget. Rapat juga bakalan tetep jalan kalo lo gak dateng."

"Apaan, sih? Gue, kan, udah bilang kalau gue gak apa-apa." Juni lagi-lagi hendak turun dari atas bangkar, namun Juna lagi-lagi menahan tangannya. Juni mendengus kesal. "Juna lo ngeselin banget, sih!"

"Nyadar diri. Lo lebih ngeselin dari gue," ucap Juna.

Juni menghela napas. "Ya udah, lo mau gue ngapain sekarang?" tanya gadis itu yang akhirnya menyerah.

"Makan," kata Juna.

Juni mengernyitkan dahi bingung. "Bisa gak, sih, kalo ngomong yang jelas dikit?" gerutu Juni sebal.

JuniWhere stories live. Discover now