1. Anjing & Kucing Sepasang Lansia, Ayam Hutan, dan Serangga Saturnus

400 54 74
                                    

November 2017, Kompleks Griya Mahadri, pukul 10:11

Maura menggeliatkan kepalanya dengan manja di lengan Ramsi. Neva menatap kucing itu dengan lega. Kucing itu tampak sama leganya karena bisa kembali ke rumah. Meski menurut Neva, kucing itu tampak lebih gemuk setelah menginap ilegal di rumah Sarah.

"Jadi, ini hanya kesalahpahaman saja," kata Neva.

Ramsi menolehkan kepala untuk menangkap basah Sarah yang mencuri pandang dengan gelisah ke arahnya. "Kesalahpahaman? Jelas-jelas Sarah menculik kucing saya."

"Kalau harus nyulik untuk dapet keuntungan besar, aku lebih baik nyulik kamu," balas Sarah dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

"Memangnya kamu bisa menculik saya?" tantang Ramsi.

"Kenapa tidak? Tua Bangka seperti kamu nggak lebih kuat dari kucing manjamu itu."

Untuk beberapa saat, Neva hanya menatap Ramsi dan Sarah secara bergantian, tergantung siapa yang berbicara dan mendesah berlebihan atau menunjukkan gestur tertentu. Kedua manula itu, pikir Neva, tampaknya masih membawa dendam cinta masa muda mereka.

Ramsi, duda 67 tahun, dulu menyembunyikan anjing Sarah—Lorenzo— di rumahnya karena menurutnya, Lorenzo kerap berbuat onar dan menakuti anak-anak di kompleks mereka. Sarah yang selalu tampak sibuk, seringkali lupa jika Lorenzo tidak sedang berada di kandangnya dalam keadaan terikat, melainkan bertualang dengan bebas di jalanan dan kencing di sembarang tempat. Jadi, Ramsi melakukan tindak pendisiplinan dengan caranya sendiri. Neva tidak yakin, apa yang sudah dilakukan lelaki tua itu pada Lorenzo. Tapi nyatanya, Lorenzo pulang dalam keadaan sehat dan bisa diajak memainkan "dor!-mati!" (ketika seseorang meneriakkan 'dor' dan menunjuk Lorenzo, anjing kecil berbulu cokelat itu akan seketika terbaring di lantai, berpura-pura mati). Sekarang, giliran Sarah, janda 67 tahun, yang tertangkap basah menyembunyikan Maura di dapurnya. Semua ini sebenarnya sangat mudah untuk dijelaskan.

Neva menghela napas dalam-dalam sebelum menyampaikan kesimpulannya. "Dulu, Opa Ramsi membawa pulang Lorenzo untuk mengajari dia beberapa keterampilan dan membantu Oma Sarah yang seringkali khilaf ...."

"Saya tidak membantu Sarah," potong Ramsi. Lelaki tua itu tampak tersinggung. Seolah-olah membantu Sarah adalah dosa besar. "Untuk apa saya membantu dia? Kalau dia memelihara kucing, harusnya dia tahu kewajiban-kewajibannya. Dan dia bukannya khilaf, Neva. Dia memang sudah pikun," jelasnya.

Sarah mengerutkan hidung selagi matanya menyalakan kemarahan. "Kamu bilang aku pikun? Kamu yang pikun, Tua Bangka. Kamu nggak ngasih makan kucing manjamu itu sama sekali. Kamu biarin dia kelaparan. Sementara aku ngasih dia makan enam kali sehari."

"Enam kali sehari? Kamu mau membunuh Maura?"

"Membunuh? Mana ada kucing mati kekenyangan? Hati-hati sama ucapanmu ya, Kakek Tua! Mauramu itu saja yang rakus. Dia selalu kelaparan. Jangan-jangan, kamu nggak tahu ya, kalo dia selalu kelaparan?"

"Opa, Oma ...," Neva mencoba untuk melerai. "Sebentar, biar Neva selesaikan dulu omongan Neva, ya. Opa dan Oma bisa mendengarkan ini sebentar saja, 'kan?" katanya, dengan hati-hati. Seolah setiap kata bisa melukai Ramsi dan Sarah jika tidak diucapkan dengan kecepatan yang wajar.

Kedua manula itu terdiam. Mereka masih berdiri dalam jarak yang cukup aman untuk tidak saling menghajar (jika sekiranya itu diperlukan). Namun, adu tatapan sengit di antara mereka tidak berhenti begitu saja.

"Neva pikir, ini bukan masalah besar. Maura tidak berada dalam situasi yang membahayakan. Dia kelihatannya gemuk-gemuk saja. Bulunya putih seperti biasa, sampai-sampai kalau dia duduk di kursi, orang-orang akan berpikir kalau Maura itu bantal bulu."

HEALINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang