Part 1

13.9K 824 217
                                    

"Yeah! Masuk!" teriak Bumi senang.

Langit menatap nanar bola basket yang terpantul di paving lapangan. Ia ingin sekali menyentuh dan memainkan bola itu seperti yang dilakukan Bumi. Namun, Langit tak pernah tahu caranya. Terkadang rasa iri pada adik semata wayang yang bisa bergerak dengan bebas itu menyelinap dalam hati. Berlarian, bermain bersama teman-teman, sedangkan Langit hanya bisa menonton.

Seperti saat ini ....

Langit duduk di tepi lapangan, sedangkan adiknya men-drible bola basket dengan lincah. Bumi memang jago, tampak dari penguasaan teknik dan keberhasilan dalam memasukkan bola ke ring yang menggantung pada tiang setinggi hampir dua kali lipat dari tinggi Bumi sendiri.

"Kapan aku bisa bermain basket seperti itu?" Langit bertanya dalam hati. "Andai tubuhku tidak lemah, pasti aku bisa seperti Bumi." 

Langit tersenyum kecut. Dokter mendiagnosanya mengidap kelainan jantung. Itu sebabnya, lelaki kecil berkacamata itu tidak bisa melewati masa kecil dengan normal. Di saat anak sebayanya bermain dengan riang, ia hanya bisa menonton bak orang bodoh. Di saat teman-teman sebayanya bebas jajan ini itu, ia hanya bisa menenggak pil-pil pahit yang membuat mual.

Hidup ini tak adil bagi Langit. Sementara Bumi bermain dengan bebas, ia harus bisa menerima kenyataan, terpenjara seumur hidup dengan kepenatan. Terkadang ia berpikir, ingin bertukar tempat dengan Bumi sebentar saja. Ingin merasakan menjadi anak normal walau hanya dengan waktu sepuluh menit saja.

Namun, itu mustahil.

"Kak!" Suara Bumi memecahkan lamunan Langit. "Bagi minumnya, dong?"

"Kamu sudah selesai main?" tanya Langit sambil menyodorkan sebotol air mineral.

Bumi tak menjawab, langsung menenggak air dalam botol sampai habis setengah.

"Capek, Kak. Kita pulang saja, yuk?" pinta Bumi sambil menarik tangan kakaknya.

Langit menggeleng tak setuju.

"Tapi ini sudah sore. Ntar Mama sama Papa nyariin."

"Nggak apa!" elak Langit. "Kakak masih mau di sini, Bum. Kakak ingin main sebentar seperti kamu tadi," pinta Langit.

Bumi menghela napas.

"Tapi Kak, tadi Mama bilang kalau Kak Langit enggak boleh main bola. Nanti kalau capek, bisa sakit. Kan tadi Mama pesan begitu!"

Langit memasang wajah sedih.

"Please, Bum. Sekali ini saja. Tapi kamu jangan bilang-bilang sama Mama. Cuma sebentar kok," pinta Langit.

Bumi jadi tak tega, lalu mengangguk. Kini, giliran Bumi yang duduk di tepi lapangan dan menonton.

Langit mengambil bola basket itu dengan dua tangan mungilnya. Ternyata berat juga. Rasanya sulit dipercaya Bumi bisa lihai bermain dengan bola seberat ini.

Langit merasa sangat senang. Pertama kali memegang bola basket dan merasa sangat sehat. Lalu, ia coba men-drible bola seperti yang dilakukan Bumi tadi. Namun, ternyata tak semudah melihat belaka. Berulangkali tangan Langit meleset dan bola menggelinding tak beraturan.

Memang susah. Namun, lama-lama terbiasa.

Bisa! Akhirnya ia bisa men-drible bola berat warna jingga itu. Langit merasa sangat senang, hingga tanpa sadar melangkah semakin cepat. Keringat telah membasahi wajah. Namun, Langit masih belum ingin berhenti. Tampak jika benar-benar menikmati permainan yang dari dulu diiidamkan.

"Masukin bolanya, Kak!" teriak Bumi.

Langit menatap ring di hadapannya. Tinggi sekali. Namun, tak apalah. Bumi saja yang bertubuh lebih kecil bisa memasukkan bola itu ke ring dengan mudah. Kalau Langit melompat seperti cara Bumi, pasti bola basket itu bisa masuk.

Langit & Bumi (REVISI)Where stories live. Discover now