Kulihat jam dinding sudah menunjukan pukul setengah empat sore. Setengah jam lagi jam kerjaku selesai. Aku merapikan meja sekaligus mengelap meja Axcel yang memang sudah rapi dari awal masuk.

Disela-sela itu, aku menyadari bahwa ada pola tipis yang tergambar di sana meja Axcel. Aku mengamati pola itu dengan saksama. Pola itu membentuk sebuah gambar daun semanggi berkelopak empat. Aku meraba garis-garis itu dengan jemari.

Tubuhku mengerjap seketika dan pemandangan di sekitarku berubah. Aku berada di antara sisa kobaran api yang mulai padam dengan aroma herbal yang menyengat. Sebagian dari yang terbakar itu masih ada yang bergerak dalam kobaran api. Aku mundur satu langkah sambil menatapnya nanar. Makhluk itu tampak merangkak dan menggeram. Namun, dalam geramannya aku mendengar ia berbicara sesuatu. Awalnya terdengar samar, tapi semakin jelas perlahan.

“Raja sudah dikalahkan. Ratu sudah dilenyapkan. Selamatkan Tuan Putri.” Suaranya terdengar serak. “Selamatkan Tuan Putri.”

Aku menyodongkan tubuh dan menatapnya. “Tuan Putri?”

“Putri Axcel dalam bahaya,” bisiknya lagi sebelum ia menjadi abu sepenuhnya dan mati bersama kobaran api yang padam.

“Axcel pasti ada di sekitar sini,” pikirku.

Aku berlarian sambil menghidari benda berapi yang berjatuhan. Sesekali merunduk dan bersembunyi jika ada yang lewat. Tujuanku adalah menyelamatkan Axcel, tapi aku tidak tahu harus mencarinya ke mana. Bukan hanya itu, para makhluk di sekitarku juga berbentuk aneh meski ada beberapa yang mirip dengan Manusia.

Aku terus mengedarkan pandangan dan berharap menemukan seorang gadis yang kucari di sekitar sini. Namun, nihil. Hanya puing-puing kayu yang terbakar berserakan.

Aku tersandung dan tersungkur. Di hadapanku ada sebuah daun aneh berbentuk sayap yang berantakan. Aku meraih dan memperhatikannya, itu benar-benar sayap. Terlihat garis-garis kecil yang menonjol acak, juga teratur.

“Apa ini sayap Peri?” gumamku.

Aku mengendusnya, aroma mint yang menyengat merasuki penciumanku.

“Ririn.”

Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Aku terkejut melihat gadis dalam posisi tersungkur sama sepertiku—tepat di sebelahku.

“Ka-kau?”

Dia—Karin. “Jika kau ingin menemukan temanmu di tempat ini, kau harus masuk lebih dalam lagi,” bisiknya dekat.

“Ririn.” Seseorang meletakan telapak di dahiku dari arah lain.

Aku menoleh seketika dan pemandangan sekitar kembali berubah. Aku berada di kedai dengan bingung.

“Ririn, apa yang kau lakukan?” tanya Adelia.

“Oh hmm … aku … sedang … membersihkan meja,” jawabku seraya menegakkan tubuh.

Adelia menyipitkan mata. “Membersihkan meja? Dalam posisi seperti itu?”

Aku menjadi kaku karena tidak tahu posisi seperti apa diriku tadi. Jujur, aku bingung harus menjawab apa yang pada akhirnya membuatku hanya terdiam.

“Hmm … apa itu berlebihan?”

“Tentu saja. Posisimu tadi seperti seseorang yang hampir berciuman dengan meja.” Adelia menunjuk dahi lalu turun ke hidungnya. “Wajahmu terlalu dekat dengan meja.”

“Oh.” Aku tertawa kaku. “Benarkah?”

Adelia melipat tangan di dada lalu menatapku lekat, sedikit misterius. Untuk pertama kalinya Adelia memandangku seperti itu, membuatku takut jika teringat mimpiku di dapur saat itu.

Loizh III : ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang