Aku terdiam sejenak lalu mengangkat bahu. “Terserah kau saja. Aku mau beli makanan.”

“Kau sudah tidak mengantuk?” tanyanya.

“Berdebat denganmu cukup mujarab menghilangkan kantukku.”

“Syukurlah. Dengan begitu, kau tidak akan merepotkan.”

“Axcel kau—“

“Sebaiknya kau duluan ke atas. Aku harus membereskan kamar,” potongnya.

“Baiklah. Aku naik dulu,” ujarku akhirnya.

Aku berjalan menyusuri tangga dan lantai di atasku mulai bergeser terbuka.

“Telekinesis,” gumamku.

Kulihat seorang gadis sudah duduk di sofa setelah aku menginjakan kaki di lantai atas. Aku memicingkan mata dan mendekatinya perlahan. Kulihat pintu kedai masih terkunci rapat dan Axcel masih di bawah sana. Lalu siapa dia?

“Permisi!” sapaku. “Maaf kedainya dibuka sembilan menit lagi. Apa kau mau menunggu?”

Gadis itu mendongak ke atas dan tersenyum. Aku terperanjat seketika dan mundur satu langkah. Aku menatap lekat gadis itu dan butuh waktu untuk menyadari bahwa ia mirip denganku.

“Ririn.” Ia berkata. “Aku adalah dirimu.”
“Tu-tunggu. Kau gadis—“

Kalimatku terpotong karena pikiranku mendadak kosong. Namun, aku berusaha agar tubuh ini tetap dalam kendaliku. Aku menarik napas perlahan dan mencoba untuk tenang.

“Kau dan aku begitu dekat. Tidakkah kau merasakannya?”

Aku memicingkan mata seketika. “Aku tidak mengerti.”

Gadis itu berdiri. “Kalau begitu, sentuh aku.”

Aku menggeleng kaku. “Tidak.”

“Sentuh aku.”

“Tidak.”

“Kubilang sentuh aku. Agar kau mengerti,” pintanya memaksa dengan nada lembut.

Napasku tercekat sejenak dengan jantung berdegup kencang. Mataku menatap nanar pada gadis yang sudah berdiri di hadapanku.

“Axcel,” panggilku sambil menatap meja dan berharap ada kepala yang keluar dari sana.

“Sentuh aku.” Gadis itu semakin mendekat.

“Axcel!” Aku mulai panik sambil melangkah mundur perlahan. “Axcel tolong aku!”

“Kau tidak akan bisa memanggilnya,” jawab gadis itu.

“Ke-Kenapa?”

“Kau berada di alam bawah sadarmu dan tenggelam hingga ke dasar jiwa. Itu lah alasan kau bisa melihatku. Itu terjadi di antara kekosongan pikiranmu.” Gadis itu menatapaku lekat. “Perhatikan sekitarmu.”

Aku mengedarkan pandangan sejenak. Kulihat semua tampak sama, tapi begitu sunyi mencekam dan—jarum jam berhenti di tempatnya.

Cobalah berinteraksi dengannya.’ Kalimat Axcel masih terngiang.

Aku menelan ludah bersama kegugupanku lalu menarik napas, berusaha tenang. Kujulurkan tangan yang gemetar ke arah gadis itu. Apa ini saat yang tepat untuk berinteraksi?

Aku—merasa takut, seolah-olah dia adalah hantu yang mirip denganku dan itu sangat konyol.

“Sentuh aku,” lirihku memberanikan diri.

Gadis itu sudah menautkan jemarinya dan sesaat tubuhku mengerjap seperti terlempar jauh menelusuri lorong gelap. Aku memejamkan mata dan tak berani membukanya sedikit pun. Ribuan cahaya berkelebat dalam pikiranku, kemudian salah satunya melebar menjadi sebuah layar. Pikiranku bekerja secara refleks untuk merekam dan mengingat peristiwa yang saling berkelebat secara bergantian.

Loizh III : ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang