“Adelia.” Suara Axcel yang dingin menggema di dinding.

“Aku menginginkan jantungnya.” Adelia mencabut pisaunya dengan kasar lalu menghujamkannya lagi tepat di jantungku.

Aku mengerang dan merasa kaku seketika, kemudian melemas disusul rasa sakit yang mendera. Pandanganku mengabur dan cegala cahaya mulai meremang.

“Kalian … giila!” desisiku.

“Aku tidak gila,” bisik Axcel.

Aku bisa mencium aroma tubuhnya. Ada sepasang tangan yang mendekap tubuhku. Axcel, dia memelukku.

Ya, benar-benar memelukku. Benakku langsung dipenuhi tanya, bagaimana dia bisa mendekapku dengan tenang setelah jantungku terhujam dengan cara yang mengerikan?

“Orang gila tidak mungkin menyesal bukan?” lirihku lagi.

Sejenak pelukannya melepas. “Sudah kubilang aku tidak gila.” Axcel membantah lagi, tapi kali ini suaranya lebih jelas.

Aku membuka mata seketika. Kulihat Axcel sudah duduk di atas meja sambil menikmati semangkuk es krim rasa mint favoritnya. Sedangkan aku terbaring di sofa duduk pelanggan.

Apa tadi aku—bermimpi?

“Apa yang terjadi?” tanyaku bingung.

Kepalaku masih terasa pening dan berat seraya mencoba duduk dan bersandar. Aku tahu aku sedang di Kedai. Kulihat jam menunjukkan pukul satu malam.

“Kau pingsan dan suamimu membawamu ke sini.” Axcel menjejalkan satu sendok es ke mulutnya.

Aku memejamkan mata sejenak dan mencoba untuk mengingat. Ya, aku habis bertengkar dengan Grisa, aku ingat itu. Tapi—apa katanya tadi?

“Suami?”

“Hmm … maksudku calon. Dia mengaku sebagai tunanganmu.” Axcel melompat dari meja lalu duduk di sebelahku. “Felix membawamu kemari saat kau pingsan. Dia bilang kau di serang harimau di rumah. Jadi, untuk sementara kau di sini lebih dulu.”

Keningku mengerut. “Harimau?”

“Itu lelucon, Bodoh. Harimau selalu menyerang mangsa dengan taring dan cakar. Spesies harimau apa yang menyerangmu dengan membenturkan kepala?”

Aku hanya tertawa ringan mendengarnya. Mulai paham bahwa harimau yang dimaksud adalah Grisa. Aku tahu Axcel sedang melucu, tapi menurutku itu lelucon yang kaku. Meskipun begitu, aku lebih suka Axcel yang saat ini.

“Axcel, kenapa kau belum pulang?” Kulirik jam dinding sekali lagi.

“Pulang? Oh ya, aku lupa memberitahumu. Kedai ini adalah rumahku.”

“Rumahmu?” Aku mengedarkan pandangan. “Lalu kau tidur di mana? Aku tidak melihat kamar di tempat ini.”

“Kamarku ada di bawah meja counter. Tadinya kau mau langsung di bawa kekamarku, tapi karena terlalu merepotkan aku meminta Felix untuk membaringkanmu di sofa lebih dulu sampai kau sadar.”

Meja counter—kamar Axcel?
Axcel meletakkan mangkuk kotor ke dalam wastafel lalu mencuci dan menyimpannya di rak setelah dilap. Ia mengucir rambutnya menjadi ekor kuda, setelah itu ia membasuh wajahnya.

“Axcel.”

“Jangan memanggilku jika tidak ada keperluan,” sahutnya. “Ada apa?”

“Hmm … sejak kapan kau tinggal di sini?”

“Sejak pertama kali kedai ini dibuka.”

“Dan Tuan Erick mengizinkanmu?”

“Bukan Tuan Erick yang mengizinkanku, tapi aku yang mengizinkannya membuka kedai di rumahku.”

Loizh III : ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang