Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

{Bab 2} Awal Mula Cerita

94.7K 4.8K 73
                                    


Pengurus OSIS itu harus selalu tertib, rajin, pandai, bertanggung jawab, dan mampu memberikan teladan bagi siswa dan siswi di sekolah. Namun, aplikasi nyatanya? Tidak selalu begitu.

Adiba masih duduk seorang diri di depan ruang OSIS. Waktu menunjukkan pukul 06.00. Sang ketua pun belum terlihat batang hidungnya.

Terkadang, Adiba mengumpat dalam hati saat beberapa pengurus OSIS tidak menepati janji atau menggunakan kata-kata kotor yang tidak patut diucapkan oleh manusia. Masih pantaskah mereka menjabat sebagai pengurus OSIS? Andai saja Adiba menjadi kepala sekolah, akan ia turunkan jabatan mereka. Tapi, apalah daya? Ia hanyalah seorang Adiba Shakila Abqoriah yang mampu menegur. Parahnya, teguran itu diabaikan seperti angin lalu. Harusnya, mereka ingat pepatah Arab "unzhur maa qaala wa laa tanzhur man qaala". Lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.

"Sudah dari tadi?"

Adiba menoleh ke asal suara. Itu Bunga, seksi ketakwaan di OSIS.

"Lumayan," jawabnya singkat.

Bunga mengambil posisi duduk di samping Adiba. "Siapa yang bawa kunci ruang OSIS?"

"Kak Ibnu. Dan dia belum datang."

Adiba tersenyum."Udah,yang sabar. Innallaha ma'asshabirin. Tidak baik juga pagi-pagi sudah mengumpat orang."

"Ya, habisnya sebel!" Bunga berjalan bolak-balik tak sabar menunggu. Siapa sih yang suka menunggu? Menunggu itu melelahkan dan membuang-buang waktu. Apalagi jika orang yang kita tunggu tidak akan datang, itu bagai menunggu matahari pada malam hari. Jangan menunggu jika kau tak ingin lebih tersakiti.

***

"Nauval, bangun, Nak. Sudah setengah tujuh, kamu harus berangkat sekolah." Suara Rahma tak membuat Nauval bergerak seinci pun dari tempat tidur. "Umi masuk ya?" lanjutnya karena tidak mendengar respons dari pemilik kamar. Tetap saja hasilnya nihil. Tidak ada jawaban.

Rahma pun menyelonong masuk ke kamar Nauval. Ia tahu bahwa sang anak memang sengaja tidak membuka pintu ataupun menjawab, tetapi memilih berpura-pura tidur. Wanita itu menarik napas panjang agar diberikan kesabaran menghadapi anak semata wayang yang memiliki kebandelan di atas rata-rata. Innallaha ma'asshabirin. Sisi lainnya mengingatkan.

Hanya ada dengkusan kesal dari mulut lelaki itu. Ia semakin mengeratkan pegangannya pada selimut.

"Ayolah, Nak." Rahma menarik selimut lalu menarik Nauval dan mendorongnya ke kamar mandi.

"Iya, Umi, iya. Nauval bakalan mandi. Gak usah didorong-dorong gini. Umi gak usah mandiin Nauval, udah gede udah bisa mandiri. Mandi sendiri," ucap Nauval masih dengan mata terpejam.

Rahma menarik napas dalam-dalam dan menghempaskannya sambil memijat kening. Tiba-tiba ia pusing, amarahnya mau meledak. Nauval berjalan menuju kamar mandi sambil memberikan mimik yang dibuat-buat, membuat Rahma harus memompa kesabaran lebih banyak. Ia menatap punggung Nauval sambil berkacak pinggang dengan satu tangan dan tangan yang lain masih memegang selimut tebal. Setelah pintu kamar mandi tertutup, ia merapikan kamar anak laki-lakinya, kemudian berlalu untuk menyiapkan sarapan.

* * *

Pukul 06.33, sang ketua OSIS sekaligus malaikat pembawa kunci datang. Setelah menelantarkan anak buahnya, dengan santai ia berjalan ke arah ruang OSIS sembari bernyanyi serta memainkan kunci motor. Sudah ada lima belas orang yang duduk lesehan di sana sembari memainkan ponsel masing-masing.

Benar saja, sebelum Ibnu membuka suara, Bunga sudah menyerang seperti rentetan gerbong kereta api sepanjang antara Semarang dan Solo. "Kak, kamu itu gimana sih?! Katanya jam 06.00, ini udah jam berapa, hah? Jam 06.33 lebih 7 detik jalan 8 detik! Kamu telat 33 menit 8 detik, tahu gak? Ketua OSIS macam apa kamu ini? Sangat menyebalkan! Kamu pil—"

"Enggak," jawab Ibnu memotong gerbong panjang Bunga. Adiba dan beberapa pengurus OSIS terkikik geli. "Aku belum selesai bicara." Wajah Bunga sudah tak sedap dilihat.

"Sudah, Bunga. Ntar kita hukum bareng Kak Ibnu," kata Adiba agar dendam Bunga terbalaskan. Jika membiarkan Bunda perang mulut dengan Ibnu, bakalan tidak selesai hingga tahun depan.

Ibnu berhenti memutar kenop pintu lalu memandang Adiba dan Bunga bergantian. Adiba hanya tersenyum dan kedua jarinya membentuk huruf V sebagai tanda damai. Berbeda dengan Adiba, Bunga menatap Ibnu penuh kepuasan. Sepertinya, ia sudah mulai memikirkan hukuman yang akan diberikan kepada ketua OSIS itu.

Sejak dilantik, mereka memang sudah membuat peraturan, apabila terdapat pengurus OSIS yang terlambat setiap event OSIS ataupun sekolah, siapa pun pelanggarnya akan mendapatkan sanksi tegas dari seluruh pengurus.

"Oke... oke...." Ibnu tampak pasrah. Ia kemudian membuka pintu ruang OSIS.

Terlihat senyum kemenangan pada wajah Bunga. Bahagia di atas penderitaan orang lain. Tidak patut ditiru!

Adiba menaruh tas di atas meja panjang berukuran 10 × 5 meter yang berada di tengah-tengah ruangan. Di samping tas tertumpuk fail dan beberapa proposal. Ia menarik kursi ke belakang lalu mengambil posisi duduk.

"Baik. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," mulai Ibnu.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab seluruh pengurus OSIS hampir bersamaan.

"Langsung saja. Kita laksanakan pembagian tugas sesuai dengan bagian masing-masing. Setelah ini, kita kumpulkan adik-adik di lapangan apel, lalu memberitahukan pembagian kelompok selama MPLS. Setiap penanggung jawab kelompok, harap bekerja maksimal untuk mengarahkan anggota masing-masing. Untuk Farah dan Adiba, kalian urus ketertiban ya." Semua mengangguk paham mendengar instruksi dari Ibnu. "Silakan seksi perlengkapan MPLS membagi kertas fotokopian kepada setiap penanggung jawab kelompok."

"Ada yang ditanyakan?" tanya Ibnu sembari menatap arloji yang melingkar di tangan kanannya. Karena tidak ada tanggapan, lelaki berkulit sawo matang itu segera membubarkan rapat pagi dengan salam penutup.

* * *

Adiba memasukkan ponsel ke saku rok lalu menatap ke samping kanan, tampak pantulan bayangannya. Ia pun merapikan seragam dan kerudung.

Mengumpulkan peserta MPLS sudah terlaksana. Membagi kelompok, sudah terlaksana. Mengabsen pun sudah. Kini, seluruh peserta sudah memasuki aula untuk mendengarkan

bimbingan dari Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah bidang kesiswaan, dan Ketua Panitia.

Adiba melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. Ia melihat Farah tengah berdebat dengan lelaki berseragam putih abu-abu. Ia mencoba memfokuskan pandangan ke wajah lelaki itu. Ia yakin bahwa lelaki itu bukan murid SMA Bina Bangsa, terlihat dari badge lokasi dan lambang sekolah lain pada seragamnya.

Adiba tidak bisa melihat raut wajah Farah karena posisinya di belakang gadis itu. "Ada apa?" tanyanya.

"Ini loh. Ia terlambat setengah jam, tapi gak mau dihukum." Farah menyejajarkan posisi ke samping Adiba.

Anak baru itu memalingkan pandangan sembari memasukkan ponsel ke saku celana.

"Dek, kamu terlambat. Kamu salah, itu tandanya harus menerima hukuman keterlambatan. Kami tidak akan melakukan kekerasan fisik. Toh, ini juga untuk kebaikanmu," ucap Adiba kepada lelaki itu dengan halus.

"Bodo...," jawabnya lalu pergi meninggalkan Adiba dan Farah.

Sabar, Adiba. Sabar. Orang hebat bukanlah orang yang kuat, tetapi orang yang mampu menahan amarahnya. Kamu harus menjadi orang hebat. Adiba menarik napas sepanjang-panjangnya. Perlakuan si anak baru itu cukup membuat suhu darah naik 10 derajat Celcius. Jangan sampai darahnya mendidih.

"Dek... Dek...," panggil Adiba dengan nada naik satu oktaf karena lelaki itu semakin jauh.

Ia menatap Farah. "Gue suka sama lo. Lo mau, kan, jadian sama gue?" Ia berhenti sejenak. "Farah?" sebutnya ragu. "Oh, ya, kenalin nama gue Nauval. Satu lagi, gue itu bukan anak kelas X. Gue anak kelas XI yang baru pindah, tapi ini sekolah bikin ribet aja, masak gue disuruh ikut MPLS? Bedain gue sama yang lain. Oke?" Lelaki itu berlari menjauh.

Adiba terguncang hebat, sungguh mengagetkan. Guncangan itu bertambah dahsyat ketika melihat ekspresi Farah. Seperti senang? Jangan sampai sang sahabat terbawa perasaan terhadap lelaki semacam itu. Ya Allah, jangan biarkan itu terjadi, doanya dalam hati.

Sayap SurgakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang