35- Masih Sama

58.1K 5.2K 142
                                    

Pagi-pagi sekali Dinda sudah cemberut sambil bersiap diri untuk ke sekolah. Padahal kemarin dia baru saja jadian dengan Bani dan semalaman tidur dengan sangat nyenyaknya dan bermimpi indah. Tapi paginya mood Dinda sudah hancur berantakan karena pacar barunya tersebut.

"Halah, bisa diandelin apaan? Masa basa-basi jemput aja nggak ada!" Dinda menggerutu sambil mengikat rambut hitamnya dengan ikat rambut biru tua.

Sekali lagi dia mematut dirinya di cermin. Setelah dirasa semua sudah rapi, Dinda pun meraih ranselnya yang tergeletak di atas kursi meja belajarnya. Sambil menyampirkan sebelah tali ranselnya ke punggung, Dinda berjalan keluar kamar menenteng ponsel di tangan kirinya.

Dinda berpapasan dengan Dita, kakaknya yang sudah rapi dengan kemeja dan rok kotak-kotak seragam sekolahnya. Sekolah Dita memang memiliki seragamnya sendiri, berbeda dengan sekolah Dinda yang menggunakan seragam putih abu-abu seperti sekolah pada umumnya. Itu juga salah satu alasan Dita merengek ingin masuk ke sekolah tersebut.

"Heh, lo jadian sama Bani?" tanya Dita begitu berpapasan dengan Dinda karena kebetulan mereka keluar kamar hampir bersamaan.

Dinda tidak ingin menanggapi Dita karena ujung-ujungnya mereka pasti bertengkar. Dinda lagi bete dan nggak mau menambah kebeteannya.

Tapi bukan Dita namanya kalau keinginannya tidak terpenuhi. Ditariknya ransel Dinda begitu adik beda setahunnya itu melengos begitu saja melewatinya. "Dinda, gue nanya!" sungutnya.

Dinda berdecak sambil menarik kembali ranselnya. "Apaan sih? Kepo amat urusan orang. Urusin aja urusan lo sendiri."

"Yaelah, kok lo sewot gitu, sih?" tanya Dita kesal karena Dinda menarik urat kepadanya.

Memang benar mereka berdua sulit sekali dibuat akur. Padahal kucing dan anjing saja suatu saat bisa akur, tetapi rupanya Dinda dan Dita tidak. Padahal mereka kakak beradik.

"Ya Allah, ribet amat punya adek dua sama-sama cewek doyannya ribut."

"Bacot lo, bang!" seru Dinda dan Dita berbarengan membuat Deni yang baru saja keluar kamar itu refleks berjengit kaget.

"Ampun, galak amat lo berdua. PMS, ye? Kompak amat, PMS aja barengan."

Dinda dan Dita memilih untuk tidak menghiraukan abang mereka yang sudah kuliah dan agak slengean itu menuju lantai bawah, bersiap untuk bergabung di meja makan bersama kedua orang tua mereka. Begitu turun, Dinda dan Dita mencium wangi nasi goreng menyerbu penciuman mereka.

Saat sudah duduk di meja makan, tatapan Dinda sesekali masih melirik ke arah ponselnya yang dia letakkan di sebelah piring nasi gorengnya. Berharap kalau benda silver itu berkedip menandakan adanya notifikasi pesan dari Bani. Setidaknya mengucapkan good morning.

Tapi sampai Dinda menghabiskan sarapannya, satu pesan pun tidak muncul dari Bani. Yang ada hanya beberapa pesan dari Reta dan Audy di grup chat khusus mereka bertiga yang ribut membahas tugas matematika untuk pelajaran pertama nanti.

"Ma, Dita ke sekolahnya naik motor, ya?" ucap Dita membuat perhatian keluarganya teralih padanya.

Dinda pun menatap kakaknya itu dengan dahi mengernyit. Padahal kemarin-kemarin Dita yang merengek untuk diizinkan membawa mobil milik mama ke sekolah karena dia sudah punya SIM. Dan sekarang, secara tiba-tiba Dita minta izin untuk bawa motor.

"Loh, emang mobilnya mama kenapa?" tanya Raihan. "Kamu nabrak, ya?"

Dita menggeleng. "Enggak, Pa! Itu tapi aku nggak kuat macet, semingguan ini aku jadi telat mulu. Mendingan naik motor, cepet sampe."

Dinda mendesis dalam hati. Kalau sudah begini pasti dia akan ikut terseret dan lagi-lagi dia yang harus mengalah.

"Ma, Pa, Dinda jalan duluan ya, mau ngerjain tugas dulu di sekolah sama Audy dan Reta," pamit Dinda sambil berdiri dari kursinya. Sebenarnya itu hanya alasan Dinda saja supaya dia tidak perlu mengalah dengan kakaknya lagi kali ini. Dinda sudah lelah harus selalu mengalah pada kakaknya.

Infinity [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang