9- Kepergian

88.3K 6.7K 185
                                    

Suasana pemakaman di pinggir kota Lembang itu nampak sunyi. Hanya isak tangis dari beberapa orang yang merupakan kakak dan adik dari Ambar yang terdengar sesekali membuat siapapun yang mendengarnya merasakan hatinya ikut berduka.

Heriska berdiri sambil menatap nisan bertuliskan nama sahabatnya itu dengan tatapan hampa. Air matanya sudah berhenti mengalir tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Terlalu banyak waktu yang ia habiskan bersama Ambar, sehingga saat sadar ia tidak bisa melihat atau berkomunikasi dengan Ambar lagi benar-benar menghancurkan hatinya. Ambar sudah ia anggap lebih dari sekedar seorang sahabat. Bagi Heriska, Ambar adalah bagian hidupnya, saudara tidak sedarahnya. Saat SMA dulu, tiada hari Heriska habiskan tanpa Ambar. Ketika mereka terpisah sepuluh tahun lamanya tanpa kontak sekalipun, saat itulah Heriska merasa kehilangan sahabat terbaiknya. Tapi akhirnya Ambar menghubunginya lagi dan mengajaknya bertemu setelah 10 tahun lamanya lost contact.

Dinda beberapa kali mengelus punggung Heriska. Dia saja yang baru mengenal sosok Ambar turut bersedih, apalagi ibunya yang tidak lain adalah sahabat dekat Ambar.

Tapi, ketika Dinda melihat Bani yang sejak tadi masih bersimpuh di samping pembaringan terakhir Ambar, Dinda merasa bukan dia ataupun ibunya lah satu-satunya orang yang hancur hatinya atas kematian Ambar. Rasa sakit Heriska bahkan mungkin saja tidak sebanding dengan Bani. Anak laki-laki itu pasti menganggap Ambar dunianya, rumahnya, sehingga saat Ambar pergi untuk selamanya, Bani kehilangan tempatnya berpijak dan pulang.

Lima belas menit kemudian hanya tinggal beberapa orang saja yang berada di sekitar pusara Ambar, termasuk Dinda. Kerabat yang lain sudah pulang menuju rumah Ambar untuk menyiapkan pengajian.

Heriska menepuk bahu Dinda, mengajak gadis itu untuk ikut pulang bersamanya menuju rumah Ambar, namun Dinda menggeleng karena melihat Bani yang sepertinya masih ingin berada di sana dan Dinda tidak tega untuk meninggalkan pemuda itu sendiri. Entah mendapat pikiran darimana Dinda merasa kalau dia harus berada di sana menemani Bani. Hah, padahal Bani bahkan bukan siapa-siapa untuk Dinda.

Kenapa juga tidak ada satupun sepupu atau saudara Bani yang menemani cowok itu?

Dinda masih terdiam di tempatnya, memperhatikan bahu tegap Bani yang kini terlihat rapuh.

Cowok itu pasti hancur sekali. Dinda tau jika Bani adalah tipikal anak laki-laki yang pendiam dan amat dingin. Satu-satunya orang yang bisa membuat seorang Bani Hadianputra menunjukkan sifatnya yang lain adalah Ambar, bundanya, namun kini wanita itu sudah pergi untuk selamanya.

"Ban," Dinda memberanikan diri memanggil Bani setelah beberapa menit hanya diam menunggu Bani mau beranjak. Tetapi pemuda itu sudah seperti arca hidup. Tidak bergeming, tidak bersuara, hanya sesekali deruh nafasnya yang terdengar.

Dan hal tersebut benar-benar membuat Dinda prihatin dan iba. Kesedihan yang tidak ditunjukkan akan lebih menyakitkan dan menghancurkan daripada kesedihan yang terlampiaskan.

Sejak awal Dinda sampai ke rumah Ambar setelah kabar meninggal ya, di rumah itu hanya diisi oleh orang-orang yang merupakan warga sekitar yang datang untuk membantu Bi Eem dan Mang Dudung sambil menunggu keluarga Ambar dari Jakarta datang.

Dinda sempat mendengar dari Bi Eem saat Heriska bertanya tentang meninggalnya Ambar di rumah sakit. Ambar pingsan tengah malam sebelum akhirnya Bani membawa bundanya itu ke rumah sakit bersama Bi Eem. Dan Dinda juga jadi tau setelah Ambar dinyatakan meninggal dunia oleh dokter, Bani tidak menangis ataupun mengamuk seperti perkiraan Dinda. Bani hanya diam berdiri, memandangi jasad bundanya setelah memberikan kecupan di seluruh wajahnya dan kata-kata selamat tidur seolah Ambar tidak meninggal tetapi hanya tertidur sementara.

"Bani." Kembali Dinda mencoba menarik perhatian Bani tetapi laki-laki itu tetap tidak merespon. Akhirnya Dinda memberanikan diri menyentuh bahu Bani meskipun dengan keragu-raguan.

Infinity [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang