33. Gara-gara Sepatu

Start from the beginning
                                    

"Ja--jangan! Kita naik motor aja," kata Dinda.

Bani mengernyit. "Motor? Motor lo?" tanyanya.

Dinda mengangguk. "Motor matic warna pink lo itu? Gila kali ya, ogah!" tandas Bani. "Udah sih naik mobil aja nggak usah ngeribetin!"

"Gue lagi pengen makan sate madura, Bani...," kata Dinda memelas. "Kalo naik mobil susah parkirnya dan lama! Kalo motor cepet."

"Lain kali, Nda. Kita cari yang tercepet." Bani pun langsung membuka kunci rem tangan dan tancap gas ke jalan raya.

Pilihan Bani akhirnya jatuh kepada restoran fastfood yang menyediakan layanan drive thru. Setelah memesan makanan dan minuman Bani langsung menjalankan mobilnya kembali ke komplek rumah Dinda dan berhenti di depan taman yang sepi.

Jujur saja, Bani juga sebenarnya sudah lapar sejak tadi karena sama seperti Dinda, dirinya tidak sempat makan apapun saat di pesta.

Dinda sudah memakan separuh burgernya ketika Bani baru saja membuka bungkus burgernya.

Mereka makan dalam hening karena keduanya memang sedang dalam mode kelaparan. Oleh sebab itu makanan mereka habis dalam waktu cepat.

"Akhirnya gue iduuup!" ucap Dinda sambil mengemut ujung jempolnya yang terkena saus. Dinda bahkan mengintip ke dalam paperbag berlogo mcdonald itu kalau-kalau masih ada makanan yang terlewat.

Bani berdecih sambil meremas kertas pembungkus burgernya yang sudah ludes dan memasukkannya ke dalam paperbag. "Lo makan kayak babi gitu gimana nggak kenyang?"

"Bacot!" sahut Dinda galak. Tenaga Dinda sepertinya sudah kembali dan siap untuk diajak ribut oleh Bani.

"Lo kenapa sih tadi nggak makan? Gue kira pas gue tinggalin lo, lo udah sibuk keliling nyobain semua makanan," kata Bani menyeruakkan keheranannya. Bukan apa-apa, masalahnya Bani tau seberapa cintanya Dinda dengan yang namanya makanan.

"Kaki gue lecet, gue jadi males jalan-jalan," katanya cuek.

Bani sontak mengernyit. "Apa?" tanyanya. "Kaki lo lecet?"

Dinda mengangguk. "Sepatunya Andita kekecilan. Dan gue juga emang nggak biasa pake gituan," jawabnya santai.

Namun Bani jelas tidak bisa sesantai Dinda. Cowok itu bahkan langsung turun dan berjalan mengitari mobil untuk membuka pintu di samping Dinda.

Dinda menatap Bani bingung sekaligus penasaran pada apa yang akan cowok itu lakukan. Dan Dinda melotot saat Bani tiba-tiba berjongkok setelah memutar tubuh Dinda menghadap ke arahnya yang berada di luar mobil.

Bani memeriksa kaki Dinda yang memang sudah dilepas sepatunya sejak naik ke mobil. "Are you fuc*in kidding me, Nda? Ini berdarah!"

Dinda meringis saat Bani membentaknya sambil mengangkat kaki Dinda untuk diletakkan di atas pahanya.

"Ambil p3k di laci dashboard!" Perintah Bani.

Dinda pun langsung mematuhi apa yang diperintahkan dan memberikan kotak p3k putih itu ke tangan Bani.

"Rapetin paha lo! Celana dalem lo keliatan, tuh!" kata Bani galak membuat Dinda menjerit kaget.

Tapi jeritan itu hanya sebentar karena Bani bahkan tidak peduli. Yang dipedulikan Bani adalah luka di kaki Dinda. Melihat kakinya sebentar lagi harus ditotoli obat Dinda menarik kakinya. "Nggak mau, perih," katanya.

Bani mendongak untuk memelototi Dinda yang akhirnya pasrah. "Pelan-pelan!" katanya memperingati.

Bani hanya mendengus dan melanjutkan gerakan mengobatinya. Kegiatan itu akhirnya diakhiri dengan Bani yang menempelkan hansaplast di kaki Dinda. "Lain kali nggak usah pake highheels segala. Pake aja sih sepatu kets, atau bakiak deh kalo perlu! Nggak usah nyiksa diri."

Dinda mendengus. "Yakali! Ngomong-ngomong sepatu kets, lo masih belum minta maaf soal sepatu gue yang lo basahin, ya!"

Bani mengernyit sambil bangkit berdiri. "Sepatu mana?"

"Pura-pura lupa, lagi!" ketus Dinda. "Itu loh pas akhir semester!"

Bani mengedikkan bahunya, acuh.

Kalau sedang cuek begitu ingin sekali Dinda tampar muka Bani pakai ujung highheelsnya. "ih, Bani! Gue serius, ya! Itu sepatu baru banget gue beli dan baru sekali dipake. Terus lo ceburin ke kolam ikan! Untung aja masih bisa dicuci bersih!"

Bani akhirnya ingat. "Oh yang itu," katanya. "Nanti gue ganti. Selusin kalo perlu."

"Tai!" seru Dinda galak. "Untung aja Petra tiba-tiba minjemin gue sendalnya."

Hening. Saat itu juga Dinda seolah menyesal telah mengatakannya. Dilihatnya wajah Bani mengeras ketika mengetahui fakta tersebut.

"Yaudah lah ya, tapi itu 'kan cerita lama. Hehe, bahkan itu sebelum kita akrab," kata Dinda sambil terkekeh canggung.

Namun sayangnya, Bani sudah terlanjur marah. Entah kepada siapa.

Dan ini adalah pertengkaran pertama mereka setelah mereka dekat.

Semuanya gara-gara sepatu.

Infinity [RE-POST]Where stories live. Discover now