26- Luka Yang Berdarah

Mulai dari awal
                                    

Dinda menatap Bani dengan tatapan curiga namun dia memilih untuk mengambil plester luka dari kantung yang dibawanya dan menutup luka lecet di sudut bibir Bani. "Gue tadi ketemu sama Petra. Dia abis dipanggil kepsek."

Tubuh Bani menegang. Ditatapnya Dinda dalam diam.

Dinda menyentuh pelan memar di dekat mata Bani. "Gue kira cuma dia yang bonyok pas berantem sama lo. Ternyata lo sama aja parahnya kayak dia."

Bani masih diam. "Petra punya nyokapnya buat ngobatin luka dia," ujar Bani akhirnya bersuara.

Dinda mengangguk. "Ya. Dan lo punya gue untuk ngobatin lo." Dinda lalu kembali menekan salah satu lebam di wajah Bani membuat cowok itu meringis keras.

"Sakit, Nda!"

Dinda memasang wajah galak. "Makanya kalau nggak mau sakit ya jangan berantem!" katanya sambil membereskan bekas obat-obatan yang digunakannya untuk mengobati Bani.

"Lo nggak mau nanya alesan gue berantem sama Petra?" tanya Bani.

Dinda menatap Bani. "Lo mau cerita?" tanyanya balik.

Bani pun mengangguk sebagai jawaban.

"Oke. Lo kenapa bisa berantem sama Petra?" tanyanya.

Bani menatap Dinda serius lalu akhirnya dia menjawab, "Gue mau cerita asal lo berdiri di depan gue kayak tadi lo lagi ngobatin gue."

Dinda yang baru ingin duduk mengernyit. "Hah?"

Bani pun menarik tangan Dinda dan memposisikan Dinda di depannya, berdiri di antara dua belah kakinya. Lalu Bani menundukkan kepalanya, puncak kepala Bani kini menyentuh perut Dinda. Dan mengalirlah cerita Bani perihal pertemuannya dengan Berlian sampai perkelahiannya dengan Petra.

Bani bercerita dengan posisinya yang seperti itu membuat Dinda hanya bisa menunduk untuk melihat punggung Bani yang melengkung dan tengkuk cowok itu yang terpampang.

Dan tau apa yang menyebalkan? Tengkuk Bani memiliki aroma yang lembut seperti bayi. Bagaimana Dinda tau? Tentu saja dia tau, 'kan dia sudah pernah memeluk Bani waktu itu saat Bani menangis di bahunya.

Tapi saat itu jelas karena hidung Dinda memang berhadapan langsung dengan tengkuk Bani saat dia memeluknya. Tapi sekarang, bahkan meskipun ada jarak yang cukup jauh terbentang antara wajahnya dan tengkuk Bani, Dinda masih bisa menghirup aroma khas Bani itu dari posisinya.

Dinda lalu mengusap pelan kepala Bani. "Gue nggak suka liat lo berantem lagi, Ban."

Bani tidak menjawab. Wajahnya masih menunduk. "Hm." Bani berdehem pelan.

Dinda pun akhirnya meminta Bani menegakkan kepalanya. Bel masuk akan berbunyi empat menit lagi. "Gue bakal nambahin lebam di muka lo kalo lo sampai terlibat perkelahian. Apalagi kalau nanti ada hubungannya sama Martin." Dinda lalu mengangkat kepalan tangannya, mengacungkannya ke arah Bani. "Serius. Gue bakalan nonjok muka lo kalo lo sampe terlibat hal-hal aneh sama Martin atau siapapun."

Setelah mengucapkan ancamannya Dinda bergegas pergi meninggalkan Bani yang masih belum ingin beranjak.

Bani hanya bisa menatap punggung Dinda yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang di pintu keluar gedung olahraga.

Ingatan Bani terlempar ke beberapa jam yang di ruang kepala sekolah.

"Bani, Petra. Kalian sungguh bikin malu orang tua kalian. Kalian ini 'kan anak pemilik sekolah, kenapa sampai harus bertengkar di sekolah? Di depan Ibu Berlian, pula." Kepala sekolah memijit pelan pelipisnya. "Kalau ada masalah keluarga, jangan dibawa ke sekolah. Jangan juga diselesaikan dengan cara bar-bar, yang malu nanti orang tua kalian juga."

Bani diam saja. Tidak berusaha membela diri meskipun yang memulai perkelahian pertama kali adalah Petra.

"Pak, kok bapak nggak takut sih ngomelin kita anak kepala yayasan?" tanya Petra bercanda. Petra memang sebenarnya tipikal orang yang cengengesan dan gemar bercanda.

Kepala sekolah menjewer telinganya. "Diem kamu, Petraldi. Pak Hadian yang merintahin bapak langsung untuk ngehukum kamu."

Begitu mendengar penuturan kepala sekolah, Petra dan Bani langsung menatap ke arah beliau.

Petra mendecih. Dia melirik Bani yang lagi-lagi mendapat pembelaan dari Hadian.

"Bani, sebaiknya kamu ke UKS, obati luka kamu."

Bani pun pergi dari ruang kepala sekolah tanpa berkata apa-apa. Dan hal yang selanjutnya Bani lakukan adalah mencari Martin.

Dan ingatan itulah yang membuat Bani mengepalkan tangannya saat ini. Bahkan ayahnya masih bersikap tidak peduli kepadanya. Bahkan Hadian meloloskan Bani begitu saja dari hukuman.

Mungkin Hadian kira, Bani akan memaafkannya jika dia melakukan itu. Tapi yang ada justru luka di dalam hati Bani kian berdarah.

"Maafin gue Nda, lo boleh nonjok gue nanti."

Infinity [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang