Alisku terangkat. “Ikut denganmu kau bilang? Apa kau ingin menghancurkan karir pertamaku?”

“Karir pertamamu sebagai pelacur?” Felix menggelengkan kepala. “Aku tidak akan membiarkan hal itu.”

Emosiku kembali memuncak. “Felix!”

Felix menahan tanganku yang akan menamparnya lagi. Bukan hanya itu, ia mengecup bibirku dengan lembut dan aku menjadi luluh seketika.

“Jangan buat aku untuk melakukan sesuatu yang lebih buruk padamu, Ririn.”

* * *

Aku terduduk di samping Felix dalam mobilnya. Felix fokus menyetir sementara aku hanya memperhatikan pemandangan di luar jendela. Pikiranku melayang, memikirkan Bibi Elyana yang mungkin sudah menungguku untuk bekerja di kedainya.

Aku dikejutkan oleh ponsel yang berdering dan terpampang nama Bibi Elyana di layar. Aku tahu pasti ia akan menanyakan alasanku kenapa tidak datang. Aku merasa gugup seketika dan memutar otak untuk mencari alasan yang tepat.

Felix menyambar ponsel yang sedang kugenggam lalu menerima panggilan itu. Aku langsung diam mematung saat Felix mulai mengucapkan kata ‘Halo’

“Aku Felix. Ririn sedang bersamaku.”

Felix mendengar jawaban dari telepon begitu lama.

“Tapi maaf, sayangnya Ririn tidak bisa ke sana hari ini atau kapan pun.”

Felix kembali terdiam lalu menyeringai.
“Yang jelas aku tidak akan membiarkan Ririn masuk ke sarang buaya milikmu.”

Felix mematikan ponselku lalu memberikannya padaku.

“Apa katanya?” tanyaku penasaran.

“Elyana memintaku untuk segera mengantarmu ke barnya dan aku menolak.” Felix menoleh ke arahku sejenak. “Kau tak pantas di tempat seperti itu.”

Aku menghela napas lalu kembali menerawang. “Bibi Elyana pasti akan merasa kesal padaku.”

“Kenapa kau begitu khawatir padanya? Seharusnya kau mengkhawatirkan dirimu sendiri.”

“Aku tidak egois sepertimu.”

“Aku mengkhawatirkanmu, apa aku masih pantas disebut egois?”

“Aku tidak memintamu untuk mengkhawatirkanmu.”

“Elyana juga tidak memintamu untuk mencemaskan rasa kesalnya, ‘kan?”

Aku tersodok seketika oleh ucapannya. Felix selalu berhasil membuatku buntu dan bungkam. Sepertinya aku harus lebih berhati-hati saat berbicara padanya atau aku akan selalu terlihat bodoh di hadapannya.

Aku menghela napas. “Felix.”

“Iya.”

Sejenak aku teringat sesuatu. “Kau bilang kau menginginkanku. Apa yang kau inginkan dariku?”

Felix tersenyum simpul. “Kita sudah sampai.”

Aku mengedarkan pandangan. Begitu hijau dan subur. Kulihat jurang menganga di hadapanku dan menampakkan keindahan di bawahnya. Felix sudah keluar dari mobil dan embusan angin menggetarkan rambut dan kaosnya.

Melihat kesejukan yang menerpa pemuda itu membuatku ingin merasakannya juga. Aku mulai menjuntaikan kaki ke tanah lalu keluar menyusulnya.

“Aku menyukai tempat ini.” Felix menggumam saat aku berada tepat di sampingnya. “Begitu tenang dan damai,” lanjutnya lagi.

Aku mengangguk mengiyakan. Tempat ini memang benar-benar menenangkan. Rasa tenang itu menjalar ke seluruh tubuh hingga tanpa sadar aku memejamkan mata dan menikmati embusan angin yang melapisi setiap inci pori. Aroma pepohonan dan tanah lembab begitu merasuk dan terasa segar. Pikiranku melayang seketika. Membayangkan diriku yang berdiri tegak di tengah keindahan alam semesta.

Loizh III : ReinkarnasiWhere stories live. Discover now