Pergi

4K 263 18
                                    

Jika aku harus bertahan, lalu pada apa aku harus menopang?Takdir itu tidak bisa dipermainkan. Memang, semesta suka bercanda. Saking lucunya kita sampai tidak bisa tertawa.

*

Hari ini Gadis bangun lebih pagi. Tekadnya sudah bulat. Dia akan berjualan gorengan setiap harinya. Dia harus mencari uang agar bisa pergi dari sini. Sebenarnya dia mempunyai tabungan sendiri yang jumlahnya lebih dari cukup. Tapi, dia tidak mau menggunakannya. Dia ingin menggunakannya untuk biyaya kuliah nanti.

Gadis menatap tubuhnya sendiri di depan cermin. Dia tersenyum getir, merasa kasihan pada dirinya sendiri. Perlahan tangannya menyisir rambutnya pelan, lalu mulai mengepangnya menjadi empat bagian. Biasanya orang yang ingin terlihat culun selalu mengepang rambutnya menjadi dua bagian, berbeda dengan Gadis. Dia tidak hanya ingin terlihat culun, tapi lebih dari itu. Dia juga memasangkan kaca mata bulat tanpa kaca dimatanya. Dan mulai sekarang dia akan berusaha berjalan menunduk.

Setelah selesai, Gadis menuruni tangga bergegas pergi ke sekolah. Tapi tak disangka, di halaman depan ada Anton yang sedang menyeruput kopi hitam. Gadis kaget, tapi dia berusaha untuk biasa-biasa saja didepan Papanya.

"Bodoh" gumam Anton pelan. Gadis hanya diam sembari berjalan menunduk di hadapannya.

"Katanya mau pergi. Gak malu masih disini?" Ujar Anton agak kencang yang mengharuskan Gadis kembali berbalik.

"Baik. Saya akan pergi segera" Gadis berlari, menahan air matanya agar tidak jatuh.

Sesampainya di sekolah, semua orang memandangi Gadis aneh. Bahkan ada yang sampai tidak mengenalinya. Sedangkan Sela, yang selama ini membencinya, terus saja mencemoohkannya dan tertawa terpingkal-pingkal.

Gadis sabar, bersama Reza dia mulai berkeliling di seantero sekolah untuk berjualan gorengan. Diawal, tidak banyak yang membeli gorengan itu. Gadis hampir putus asa, tapi Reza menguatkannya. Reza bilang awal dari kesuksesan itu bukan sebuah keputusasaan. Dan itu berhasil membuat Gadis semangat lagi.

***

Meysa, Seli dan Didit bingung melihat Gadis menjadi seperti itu, mereka mencoba menghampiri Gadis yang sedari tadi menjual gorengan bersama Reza. Namun Gadis seperti acuh, dia selalu menghindar ketika mereka mendekat. Ada apa dengan Gadis sebenarnya?

Susah payah mereka mengejar Gadis yang terus saja menghindar, akhirnya di depan toilet wanita Meysa menemukan Gadis yang baru keluar dari toilet itu. Tanpa membuang-buang kesempatan, Meysa menarik lengan Gadis ke dalam toilet yang kebetulan hanya ada mereka berdua.

"Lo kenapa sih?" tanya Meysa ketika sudah berhadapan dengan Gadis. Sedangkan Gadis hanya menunduk dan menggeleng.

Perlahan jari Meysa membuka kepangan-kepangan rambut Gadis, lalu membuka kaca matanya. Dia menatap Gadis lekat-lekat.

"Gue tau lo lagi gak baik-baik aja. Tapi jangan gini caranya. Lo bisa cerita sama gue, Seli, Didit. Kita itu sahabat Dis." Meysa memeluk Gadis.

Gadis tidak berkata apa-apa. Dia hanya menangis. Wajah buram tanpa ekspresi. Gadis sedih, Gadis hancur. Dia berpikir, kalau dirinya seperti Reza yang alay, cupu, dan berjualan gorengan di sekolah, dia akan merasa lebih tenang. Tapi dirinya salah, tidak semua masalah harus menjadikan dirinya seperti ini. Dia yakin bahwa Reza seperti ini karena memiliki masalah yang sama dengannya. Tapi, Gadis tidak sadar. Bahwa masalah Reza lebih besar dari pada masalahnya.

***

Sepulang sekolah, seperti biasa Reza akan mampir ke rumah Bi Asih untuk menyetorkan hasilnya. Oh ya, dia hampir lupa, bahwa sekarang dia tidak sendiri ke rumah Bi Asih, melainkan dengan seorang teman. Tapi apa Gadis pantas disebut teman olehnya? Gadis juga sudah mengetahui rahasia dalam,rahasia yang selama ini dia sembunyikan. Ah entahlah, pikirnya.

Gadis HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang