16. Pelukan Keabadian

173 8 2
                                    

16. Pelukan Keabadian

Tiva kembali di tempat yang sama, yang sejujurnya sudah membuatnya muak dan ingin pergi jauh-jauh. Hanya saja, bujukan Janesa dan Eva sulit ditolak. Tiva bukan orang yang gampang menolak ajakan seseorang, apalagi mereka senior. Belum lagi, mereka berdua selalu mengajak sisa cewek Evolusi yang lain. Bagaimanapun, dia merasa ciut dan sendirian.

Sebenarnya, Tiva nggak keberatan berbagi cerita dengan Avrin. Cewek itu menerima segala hal yang sulit dimaklumi orang lain. Memang memalukan karena Bastian sudah mengetahui tabiatnya—untung cowok itu tidak menghakimi macam-macam. Dia hanya merasa, kalau satu orang lagi tahu—apalagi orang seperti Avrin, Tiva akan merasa berani.

Atau, minimal, pura-pura berani.

"Hai, Tiv," Janesa menepuk pundak adik kelasnya. Dia tersenyum ramah, tampak kontras dengan Tiva yang dari tadi celingukan dengan raut cemas. Wajar sih, anak-anak lain sedang berjalan di sekitar mereka, sebagian menuju gedung ekskul, sebagian pulang lewat gerbang depan. Atau bekergiatan di perpustakaan. Bagi Janesa, semua itu tidak masalah. Bangku Evolusi sudah bebas dari pengawasan ketat sejak dia bisa mengingat. Asal mereka tetap menjaga ketenangan, mengingat lokasi mereka dekat perpustakaan, mereka nggak akan dibasmi.

Cengkeraman Tiva pada tali penyandang ranselnya mengerat. Kepangan rambutnya ikut bergerak ketika ransel itu terangkat. Salah gue karena nggak berani ngebuntutin Bastian ke toilet—tapi gue kan bukan Avrin!

"Udah nggak sabar ya?" Janesa menyeringai, menikmati kekeruhan yang menyentuh wajah manis Tiva. "Bentar lagi. Eva lagi ngebagiin barang itu ke Norita sama Bhrina." Cewek itu menyebut nama dua senior yang pernah Tiva dan Avrin permainkan di toilet.

"Gue lagi nggak ada duit—"

"Gue yang pinjemin, Tiva Sayang." Janesa merendahkan badan dan mengempaskan pantat di bangku perunggu mengilat, menepuk ruang di kanannya untuk mengajak Tiva duduk. Belum sempat adik kelasnya memprotes, Eva tiba diikuti dua temannya.

"Tiva!" Eva memeluk Tiva, merangkul ransel cewek itu erat-erat, lalu menyelipkan plastik kecil ke dalam badan tas yang memuat buku. "Dua hari lagi, lo ikut, kan?" tanyanya, terdengar ceria dan ramah. Kesan ramahnya rusak ketika Eva berbisik, "Nggak usah banyak alasan."

"Gue, Norita, sama Bhrina juga ikut kok," sahut Janesa, memuntir-muntir anak rambutnya sambil menelengkan kepala.

Tiva mendegut ludah. Dia hanya bisa mengangguk. Otaknya berlarian memikirkan solusi, kemungkinan, jalan untuk melarikan diri. Tapi, hasilnya nihil. Dia tahu, empat cewek di depannya bisa dengan mudah melenyapkan jejak. Sementara dirinya? Disentuh prosedur ilmiah sedikit saja, kedoknya akan terkuak. Berhamburan tak terkendali.

Saat itu terjadi, Tiva harus merelakan statusnya sebagai siswi SMA Penabur Ilmu—sekolah yang dianggap surga untuk pelajar ambisius sepertinya. Masih untung kalau dia tidak naik kelas. Dampaknya jutaan kali lipat lebih membanggakan daripada dikeluarkan.

***

Faizal melihat Avrin mematung, bergeming secara keterlaluan, saat dia berhenti tepat di belakangnya. Kepala cewek itu menunduk. Rambutnya melunglai, mengimbangi gestur tubuhnya. Minus getaran, maupun sejumput isakan. Faizal menyimpulkan, perasaan Avrin terlalu bercampur aduk untuk hanya diwakili tangisan.

"Avrin," panggilnya, mengembuskan napas, lalu mengulurkan tangan. Sejenak, dia ragu, tapi memutuskan untuk merengkuh telapak Avrin yang bebas. "Gue anterin pulang, ya."

Gelengan kepala menjawab tawarannya. Dehaman sayup dan terkesan ragu menyusul. "Lima... lima menit lagi." Avrin sendiri tidak percaya bisa mengatakannya, saat dia selalu mengajak Kandika pulang lebih dulu. Selalu seperti itu. Hanya, dia membiarkan tangan Faizal bertautan dengan tangannya. Dia butuh pegangan. Pengingat bahwa apa yang dia lihat ini nyata, walau tidak bisa dia terima dengan akal sehat.

BerlawananWhere stories live. Discover now