13. Sejejak Kepedulian

188 11 3
                                    


13. Sejejak Kepedulian

Begitu pekan UAS berakhir, kesibukan Avrin bukannya berkurang, justru bertambah. Dia diharuskan menata barang-barang yang diperlukan untuk liburan keluarga mereka ke Bali. Lebih spesifik lagi, ke Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan.

Sepanjang UAS kemarin, Kandika terus-terusan memperingatkannya untuk tidak belajar beberapa menit sebelum ulangan dimulai. Biarkan saja semuanya mengalir, karena Avrin sudah berusaha keras. Avrin jadi bertanya-tanya, apa kakaknya benar-benar menganggap pelajaran sebagai alasan menangisnya, setelah semua "diskusi" sengit mereka dan dugaan Avrin akan intuisi Kandika yang tajam. Dugaan bahwa dia ketahuan.

Hari-hari persiapan berlalu begitu cepat. Pagi itu, awan masih enggan menyibak sinar Matahari. Avrin sedikit menggigil di dalam mobil yang dikendarai sopir dadakan orangtuanya. Mereka berangkat ke arah bandara, dan akan membiarkan Avanza biru metalik mereka dibawa lagi ke rumah (sopir itu biasanya bekerja pada kakak Riady).

Savina sibuk berceloteh mengenai usahanya mengurus liburan mereka sejak dua bulan sebelumnya. Mulai dari tiket pesawat, kamar resor, sampai peta dua pulau yang akan mereka eksplor sepuasnya. Avrin menggunakan kesempatan itu untuk menempeli mamanya. Dia berhasil memaksanya duduk bersebelahan selama di mobil, membiarkan Kandika duduk di kursi depan. Namun, harapannya runtuh saat melihat nomor tiket begitu memasuki pesawat.

"Aku duduk sama Mama aja, ya," rengek Avrin. "Kangen nih. Kan akhirnya Mama bisa rileks, santai-santai—"

"Papa juga pengin duduk sama Mama, Rin," Riedy menyela, memberi isyarat mata pada Kandika untuk duduk duluan dan menjaga tempat Avrin. Dia menepuk pundak putrinya, lalu memutarnya sampai mengikuti arah Kandika. "Sama kakakmu kan sama aja."

Avrin memberengut. "Papa sama Mama nggak inget, apa—?"

"Sssh, udah, sana," Mama malah ikut-ikutan mendukung Avrin duduk di samping Kandika.

Setelah beberapa kali mengesah keras, Avrin membiarkan bahunya terkulai, lalu duduk di dekat jendela. Kandika memberi jalan saat dia melewatinya. Tentu saja, nggak ada satu pun anggota keluarganya yang melupakan fenomena alam bertahun-tahun lalu. Saat Avrin masih kelas satu SD dan posisi duduknya persis seperti sekarang.

Waktu itu liburan tahun baru juga. Kandika menginap di rumah Avrin, dan paginya diantar pulang. Giliran Avrin yang menginap di rumah kakaknya. Kandika ketiduran di tengah perjalanan, dan Avrin menganggap semua akan baik-baik saja. Dia selalu dibandingkan dengan kakaknya yang rutin buang air kecil setiap malam, berbanding terbalik dengan dirinya yang masih sering ngompol.

Tapi, pagi itu, Kandika menggeser posisi Avrin hingga berdempetan dengan jendela. Dan seolah tak punya dosa, rok Avrin yang masih harum tiba-tiba basah. Keharumannya pun berganti dengan aroma mencurigakan.

Avrin menangis sejadi-jadinya. Tangisan paling heboh yang paling dia ingat saat masih kecil. Dia ingin menyalahkan Kandika, tapi takut semakin dibandingkan. Kali ini, jantungnya berdebam liar tanpa alasan. Kalau bukan karena perjalanan panjang dan adanya kemungkinan Kandika ketiduran, Avrin akan senang hati mengusir kegusarannya jauh-jauh.

"Di sini ada toilet kali, Rin," Kandika mencolek lengan adiknya sekilas, sadar apa yang sedang Avrin ingat-ingat. Dia sendiri tahu, pengalaman itu sangat memalukan dan menurunkan martabatnya dalam waktu sedetik.

Avrin memasang sikap acuh tak acuh dan sibuk memasang seatbelt-nya.

***

Begitu turun dari mobil sewaan berharga gila-gilaan yang mengantar mereka dari bandara Ngurah Rai sampai Sanur, Avrin menghirup udara kuat-kuat. Hiruk-pikuk orang di sekelilingnya sama sekali tidak mengganggunya. Dia menunggu Kandika dan Riady menurunkan barang-barang, lalu membawa ranselnya sendiri dan beberapa barang lain yang sanggup tangannya angkat.

BerlawananWhere stories live. Discover now