6. Pembuka Masa Lalu

316 18 0
                                    


6. Pembuka Masa Lalu

"Hei, sini, sini!" Seorang cowok pucat berambut pendek melambai-lambaikan tangan pada Avrin. Senyumnya ramah, membuat Avrin melupakan keheranannya dan tanpa ragu melangkahkan kaki ke dalam.

Selama beberapa detik, Avrin sibuk celingukan, mencari-cari tempat duduk. Cowok yang tadi menyapanya langsung berdiri, lagi-lagi menarik perhatian Avrin untuk menempati kursinya yang berada tepat di hadapan meja guru. Avrin mengernyit, tapi menurut saja. Ini bukan perlakuan khusus kayak yang Faizal kasih, batin Avrin sambil duduk lamat-lamat dan memerhatikan cewek yang tadi menyeret Faizal. Semata-mata karena popularitas yang diwariskan Kandika aja.

"Okay, guys, where were we?" Cewek itu mengucapkan huruf r-nya dengan jelas dan agak samar, mirip yang Avrin sering dengar di film-film. Matanya mulai berbinar saat kembali menatap Faizal, kemudian melanjutkan, "Langsung aja, ya. Ini Faizal. Dia pernah sekolah di Australia selama SD dulu."

Faizal hanya mengangguk sekali sambil tersenyum simpul, seolah nggak sadar kehadiran dan gerak-geriknya sudah menimbulkan banyak napas tertahan. Kalau suasananya nggak seperti ini, Avrin yakin mereka sudah jerit-jerit histeris dan entah melakukan hal anarkis apa lagi.

"Zal, ajarin kami slang yang sering orang Australia pake dong!" pinta cowok yang tadi menyerahkan "takhta"-nya pada Avrin. Badge-nya merajut nama Roffi Permana. "Sha, lo rayu Faizal lebih gancar lah. Ah, pake malu segala lo!"

Suit-suitan dari anak kelas sebelas yang lain langsung terdengar setelahnya, membuat Aisha—cewek yang barusan digoda Roffi—tersenyum kecil dan malah tersipu-sipu.

Avrin nggak tahan dan akhirnya menyahut celetukan Roffi, "Emang dia siapa, Kak?"

Roffi menoleh. "Oh, lo kecengan baru Faizal, ya? Jangan kaget. Aisha itu salah satu mantannya. Yang paling lama jadian, malah. Tiga kalo nggak empat bulanan deh."

"Diem lo!" Aisha melotot ke arah Roffi yang sekarang cengengesan. Dengan canggung, dia berdeham dan menatap Faizal. Kali ini mengirim sinyal penuh permohonan untuk berbicara barang sepatah-dua patah kata.

"Gini ya," Faizal kaget mendengar nadanya agak sengak, lalu diam sejenak. "Gini," ulangnya, "sejak gue balik ke Indonesia, gue sering banget denger orang seenaknya bilang Aussie yang merujuk ke nama negara. Padahal, Aussie itu artinya Australian. Orang Australia. Kalo Australia yang merujuk ke negara, slang-nya Oz atau disingkat juga sebagai Straya."

Suara "oooooh" sekarang membahana di seluruh ruangan, diikuti dengan anggukan-anggukan penuh pemahaman.

"Orang Australia juga suka nyingkat-nyingkat kata, walau ada beberapa kata pendek yang malah diubah jadi lebih panjang—kayak ACDC jadi Acadaca." Faizal mulai menggerak-gerakkan tangannya dengan bersemangat. Matanya melebar dan senyumnya melengkung sempurna, membuat tampangnya semakin manis dilihat. Dia menjelaskan bahwa orang Australia tidak melafalkan huruf R dan G dengan jelas, lalu memperagakan pengucapan mobil menjadi "cah" dan menangkap menjadi "catchin".

"I'm so loving you!" Roffi, tanpa malu-malu, merentangkan kedua lengannya dan bertingkah seolah hendak memeluk Faizal. Aisha kembali memelototinya, membuat Roffi terkekeh kecil dan mundur, kembali menyandarkan punggung di tembok. "Eh, tapi serius deh, gue setuju banget kalo Faizal ikut ekskul Public Speaking."

Selama lima belas menit duduk yang terasa seperti seabad, Avrin baru ngeh dia ada di ekskul apa. Dia makin melebarkan mulut, padahal dari tadi dia juga yakin belum mengedipkan mata sekalipun. Bahasa Inggris Faizal jauh dari kata fasih. Cowok itu berbicara dengan cepat setiap melontarkan kalimat-kalimat asing, terutama saat melibatkan jargon tertentu.

BerlawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang