14. Tetap Terlelap

150 11 1
                                    


14. Tetap Terlelap

Liburan akhir tahun saat Avrin kelas sembilan dulu, Kandika juga sempat marah-marah padanya—kali ini memang dia yang salah. Cewek itu ingat, tanpa perhitungan, membuka situs pemesanan tiket pesawat tujuan Singapura. Untuk empat orang sekaligus. Dia bahkan sudah menabung dari jauh-jauh hari untuk membayari penerbangannya sendiri. Saat sedang memilih kelas maskapai, Kandika lewat di belakangnya, dan memergokinya. Kakaknya langsung menutup layar laptop dan menasihatinya macam-macam. Saat orangtua Avrin mendatangi mereka, Kandika menjelaskan semuanya tanpa basa-basi lagi.

Istirahat kedua, Avrin memilih berdiam di kelas. Dia mengelus-elus layar ponselnya yang mati dengan telunjuknya, memikirkan tingkah-laku Kandika saat itu. Yang dia ingat hanya ekspresi datarnya, tersenyum seperlunya, dan tampak damai seakan masalah tak pernah menyentuh hidupnya.

"Avrin!" Tiva menyenggol bahu teman sebangkunya yang sedang cemberut, tanpa separuh bete. Nadanya riang dan tinggi, berusaha memengaruhi cewek itu. Sejak pesan LINE jujur mereka, Tiva berusaha menata hatinya lagi. "Rin, pulang sekolah nanti, Bastian mau main ke rumah gue lho. Ikut yuk?"

Benar saja, Avrin langsung menegakkan badan dan menoleh ke arah Tiva. Matanya mengerjap-kerjap. "Yang bener?" tanya Avrin, sedikit sangsi. Selama dua minggu sejak semester baru dimulai, Faizal menggemblengnya dengan instruksi ini-itu demi mengembangkan kemampuannya merangkai bunga. Jenis-jenis bunga per musim sudah di luar kepalanya—alias lupa semua, sedangkan wadah yang jadi favoritnya hanya vas kecil yang bisa diisi beberapa tangkai saja, cocok ditaruh di toilet. Nggak ada inovasi apa pun.

Kandika sendiri sibuk dengan macam-macam latihan soal, pendalaman materi, dan try out yang rasanya berabad-abad. Avrin bertanya-tanya, apa cowok itu ikhlas menyerahkan tanggung jawba pada Faizal, mengingat dirinya sangat tidak berkompeten saat diajari.

"Kenapa? Ada ekskul?" Tiva menggeser kursi, menyelipkan diri di balik mejanya, lalu duduk menghadap Avrin. Raut mukanya lebih segar dari semester lalu. Matanya berbinar-binar ceria.

Di titik ini, Avrin rasanya ingin tenggelam. Mana mungkin dia menyakiti cewek baik hati ini, yang sempat membuat pikiran bulusnya merancang strategi membabi buta? Tapi, kenapa dia harus peduli? Kenapa dia tidak membebaskan jiwa menjadi diri sendiri saja?

"Pertengahan Februari nanti, Faizal bakal mewakili Penabur Ilmu ke SMA Nala Dewa," jelas Avrin, menyandarkan kepala di permukaan meja. "Intinya sih ngedaftarin gue ikut lomba mereka. Aduh, gila banget tuh cowok. Denger-denger, tahun kemarin hasil rancangan bunganya juga hancur kok. Kenapa sekarang malah gue yang disuruh-suruh, dia main jadi manajer doang?"

"Enak kali, Rin, bisa langsung dapet kesempatan ikut lomba. Lah, kemarin gue malah kalah seleksi awal—walau tetep ngedukung Bastian," Tiva tersenyum, lalu terkekeh saat Avrin membalasnya dengan dengusan. Barangkali cewek itu akan menawarinya ikut menonton—atau, lebih gila lagi, menggantikannya berkompetisi. "Izin aja sehari. Nanti langsung ke rumah gue, gimana? Itung-itung refreshing."

"Kayak liburan kemarin refreshing-nya kurang aja," sungut Avrin, tapi memang nggak ingin menolak tawaran Tiva. Nggak peduli cewek itu berpotensi pamer kemesraan di rumahnya nanti, dia lebih baik kabur dari Faizal untuk sementara.

Seusai dari Bali, dia memaksa Kandika ke sekolah—yang untungnya tetap buka, walau harus masuk lewat gerbang samping. Dia bersemangat menjemput Sama dari ruang ekskulnya, dan sekarang ikan itu mendekam manis di kamarnya. Gawatnya, Faizal sempat mampir dan berjanji akan menghadiahinya akuarium, lengkap dengan teman-teman ikan baru, kalau dia menang lomba.

"Gue bilang Kandika dulu deh, biar dia nggak nyariin." Avrin sudah sibuk mengetik pesan saat Tiva mengangguk.

Siangnya, saat baru keluar kelas, gerimis merayapi langit. Avrin masih sempat mendongak, namun ketika menoleh mencari Tiva, cewek itu sudah lari dengan bersemangat di belakang Bastian. Bergandengan tangan. Dia cepat-cepat menyusul, tangannya mengeluarkan ponsel dari saku rok, memastikan ada pesan penting.

BerlawananWhere stories live. Discover now