7. Terjebak Stigma

280 15 0
                                    


7. Terjebak Stigma

Guru Matematika Avrin menugaskan setiap anak untuk mengerjakan satu soal UTS kemarin, lalu mereka akan membahasnya bersama. Avrin yang kebetulan duduk di depan Ikhsan—cowok genius yang sedang menjelaskan persamaan fungsi pada salah satu cewek—mendengarkan dengan saksama. Kombinasi angka di soalnya tampak rumit, namun Ikhsan bisa menjelaskannya sebaik mungkin sampai-sampai Avrin merasa tercerahkan.

Beberapa menit kemudian, Tasha—cewek yang barusan diajari Ikhsan—selesai menulis jawabannya di papan. Avrin menguap, memandangi gurunya dari kejauhan di tengah kelas, mengikuti lirikan matanya yang gesit dan lincah seolah bola matanya siap menerkam setiap jawaban yang salah.

"LHO!"

Benar saja. Avrin langsung menegakkan punggung begitu teriakan yang dia duga akhirnya keluar.

Bu Liz—singkatan dari Elizabeth yang sebenarnya membunuh persepsi Avrin akan Ratu Elizabeth—berdiri dan menghantamkan hak sepatunya keras-keras. (Seisi kelas sepakat guru itu lebih berbahaya ketimbang naga superraksasa.) Perhatiannya tertancap pada salah satu jawaban di papan, dan tangannya mengetuk-ketuk angka seperlima. "Ini jawabannya salah, ya. Yang bener satu."

Sontak, seluruh pandangan mengarah pada Ikhsan. Cowok itu hanya bisa menunduk. Dialah yang mengajari Tasha mengerjakan soal persamaan fungsi, tapi enggan bertanggung jawab atas keteledorannya.

"Iya, Bu, yang bener satu!" Sahutan salah seorang anak cewek di barisan belakang menarik perhatian Avrin, yang membuatnya lebih menaikkan alis saat sorak-sorai lain mulai berebutan muncul.

"Heh," Tiva menyikut lengan Avrin perlahan, "lihat deh, pertanyaannya tuh bukan nyari X, tapi seperlima X!" Suara Tiva lirih maksimal, membuat Avrin membuka kupingnya lebar-lebar. "X-nya kan ketemu satu!"

Avrin melihat soal yang ditunjuk Tiva dengan bersemangat, lalu manggut-manggut. Dia mengembuskan napas, lalu menampilkan ekspresi lempeng—tapi dalam hati geregetan. "Pembodohan banget! Udah, nggak usah dikoreksi. Kan mereka sendiri yang nyalah-nyalahin Ikhsan. Kasihan, kan?" Avrin sadar, suaranya sampai di kuping cowok kambing hitam itu, namun dia yakin nggak ada orang lain lagi—selain Tiva, Ikhsan, dan teman sebangku Ikhsan—yang menyimaknya.

Sepulang sekolah sehabis mendengarkan petuah-petuah Bu Liz yang mengalahkan keajaiban sihir mana pun, Tiva merendengi langkah Avrin.

"Rin, ke Bangku Evolusi, yuk!" Tiva menggaet lengan Avrin erat-erat. "Elo kan udah lumayan tenar di sini. Jadi pasti kalo ke sana langsung diterima!"

Avrin mengerutkan kening. "Bangku—apa?"

"Bangku Evolusi—deretan bangku yang jadi tongkrongannya murid terkenal di sini, deket taman menuju perpus," jawab Tiva antusias. "Gue mau deh kenalan sama senior-senior kita di sana. Kalo perantaranya elo, gue pasti juga langsung diizinin."

Mulut Avrin setengah terbuka, siap menolak, ketika pikiran lain menerjangnya habis-habisan. Tiva boleh manfaatin gue semaksimal mungkin, batinnya, tapi bisa aja dengan begini, Bastian bakal tau posisi gue dan lebih ngelirik gue. Pikiran berikutnya membuat Avrin mengerutkan kening, mereguk ludah kuat-kuat, sambil menarik napas berkali-kali. Terus, karena senior-senior ini terdengar nggak sembarangan, mereka mungkin bakal keceplosan nyebutin rahasia umum mereka!

"Oke!" setuju Avrin, tersenyum lebar-lebar. "Tapi jangan lama-lama ya. Gue harus nyerahin formulir tanda bukti gue udah ikut ekskul."

Mata Tiva melebar. Bibirnya menjerit antusias, "Wah, udah official punya ekskul nih?!"

Avrin mengangguk mantap sambil mengikuti langkah Tiva. Dia merasa bloon karena nggak pernah mengetahui tempat yang Tiva agung-agungkan itu. Mungkin, menjauh sedikit dari Kandika akan membuatnya bisa membaur. Mungkin dia nggak bakal merasa brengsek lagi. Mungkin dia benar-benar bisa mendapat pengalaman baru dan bertemu orang-orang yang seminat dengannya. Mungkin. Dan hanya sedikit.

BerlawananKde žijí příběhy. Začni objevovat