12. Melengkapi dan Menggenapi

Start from the beginning
                                    

Mungkin, berkas yang ada di lemari itu hanya segelintir serpihan yang bisa diselamatkan. Sisanya, raib entah ke mana. Itu pun tidak cukup memberi Avrin informasi.

Hubungan Aralyn dan Kandika yang semanis gula, madu, berbaur menjadi satu. Ruang di pojokan. Student center. S dan C.

"Sweet corner...?" desis Avrin, skeptis. Dia cepat-cepat mengetikkan dua kata itu. Lingkaran yang berputar-putar muncul di layar. Jantungnya berdebar-debar. Penuh antisipasi. Perutnya mulas seketika. Otaknya tahu pasti, hasilnya gagal.

Dan Aku Merindukan Masa-masa Itu

Mata Avrin membelalak. Sebuah judul muncul. Perasaan waswas menyergapnya, takut isi entrinya sudah diganti. Jarinya menggulir touchpad cepat-cepat, melewati tulisan-tulisan panjang yang beberapa diksinya terkesan ganas dibanding entri-entri sebelumnya. Sampai dia berhenti di bagian paling akhir.

Jantungnya berdetak makin cepat, meligat ugal-ugalan seiring dengan napasnya yang tertahan. Satu gambar di depannya jelas merupakan serpihan yang hilang. Gambar itu menampilkan mading yang ditempeli foto kira-kira 3R, dengan tulisan yang menyarankan dibubarkannya student center.

Foto Kandika mengunci Faizal di dinding. Kedua lengan terentang. Wajah terlalu dekat. Walau pipinya merona hebat tanpa bisa ditahan, Avrin menarik laptopnya, mendekatkan matanya ke layar.

Sulit dipercaya. Itu pasti editan.

Dia mengerjap-ngerjap. Bukan. Editan nggak akan menghancurkan satu tempat besar dan nyaman begitu saja.

"Avrin?"

Avrin terperanjat. Tanpa sadar, pipinya dialiri cairan basah. Kandika berdiri beberapa meter di hadapannya, berjalan ke arahnya. Tergeragap, dia mencoba meraih pinggiran layar laptopnya, lalu menutupnya dengan susah-payah. Terlalu pelan. Terlalu tiba-tiba. Terlalu dibuat-buat.

"Kamu nggak pa-pa?" Wajah Kandika tiba-tiba saja sudah mencondong ke arahnya. Udara di sekitar Avrin terasa sesak. Matanya pedih. Hatinya... entahlah. Remuk, mungkin. Tergilas. Tertindas. Teronggok menjadi rongsokan.

Selagi mendegut ludah, ingatan Avrin berlarian ke saat-saat Kandika melarangnya berinteraksi dengan Faizal. Saat cowok itu tampak antusias akan hasil pertandingan basketnya dengan Faizal. Saat cowok itu nggak suka Faizal menggodanya dekat lampu merah. Atau raut tak terdefinisikan begitu dia datang pertama kali ke ruang ini untuk mendaftar, sesudah berkeliling ke beberapa ekskul.

Bahkan saat kakaknya berbagi cupcake dengan Faizal.

Jadi ini, yang selalu kakaknya gembar-gemborkan tentang confident booster?

"Avrin?" Kandika bertanya sekali lagi, mengusap pipi cewek itu pelan-pelan. "Kalo kamu capek belajar, atau ngawatirin nilai rapor, istirahat aja nggak pa-pa. Nggak usah mak-sain diri."

Avrin hanya menggeleng. Mulutnya terkunci, sulit menelurkan kosakata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. Lagi pula, Kandika nggak boleh tahu kalau dia tahu.

Masih gemetaran, dia mendekap laptopnya, lalu memasukkannya perlahan ke tempat laptop di ranselnya. Perlahan, diam-diam, dia menggeser baterainya tanpa kentara, mematikan gawainya dengan harapan siapa pun bisa lepas dari kecurigaan terhadapnya.

"Aku anter pulang, ya?" Kandika tetap bertanya, menatap adiknya khawatir, saat Avrin terus diam. Malah memakai ranselnya dan memaksakan diri untuk bangkit. Menumpukan beban di kedua kakinya. Begitu Kandika ikut beranjak, tahu-tahu saja tangis Avrin berubah jadi senggukan. Menggerung-gerung. Guncangan bahunya keras sekali sampai Kandika yakin, ikan peliharaan mereka bisa mengerti situasi.

Sedetik kemudian, raungan Avrin memudar, terdengar sayup-sayup, tertahan kemeja putih beraroma mint yang langsung menyegarkan hidung. Avrin kembali menelan ludah. Tenggorokannya sakit. Harusnya dia tetap diam dan nggak menjadi-jadi. Harusnya Kandika membiarkannya, bukan malah meredam suaranya dengan pelukan erat. Pelukan yang mem-buat Avrin enggan sama sekali untuk menerima kenyataan sekaligus melepaskan fantasinya.

BerlawananWhere stories live. Discover now