1. Pagi yang Aneh

Mulai dari awal
                                    

Sihir yang bocor.

Napasku tercekat melihat sulur-sulur hijau murni sewarna zamrud keluar dari tubuhku.

Oh tidak. Tidak.

"Tidak, tentu tidak," Si Pemarah Nomor Dua bersuara, memecah kesunyian sekaligus membuat jantungku hampir meledak karena sesaat tadi kupikir dia menyadari ada sesuatu terjadi pada tubuhnya. Penyihir itu menghela napas. "Aku juga tidak suka kesalahan yang membuat kita berulang kali dihukum itu disebabkan oleh satu satu bocah yang sama, tapi Demi Langit, kita kekurangan orang, Jerald!"

Si Pemarah Nomor Tiga, Jerald, mulai menggerutu. "Aku tahu kita kekurangan orang, Demi Tampuk Raja!" Ia ikut menghela napas, menenangkan diri. "Tapi memasukkan orang yang selalu gagal memperbaiki mesin ke dalam kapal udara yang husak separah ini juga bukan jawaban! Itu hanya akan membuat kita kekurangan lebih banyak orang! Kau tahu Ketua tidak akan mau tahu berapa banyak daya yang kita punya! Mereka hanya mau tahu semua beres!"

Pemarah Nomor Dua memberengut kesal. "Lalu kau mau aku berbuat apa? Membiarkan kapal ini teronggok tak terselesaikan sampai Ketua datang, beralasan kita kekurangan orang atau kita biarkan si gagal ini membantu apa saja di dalam sana?" Masih menahan sakit, diam-diam aku sedikit melirik mereka berdua, melihat kening Jerald yang berpikir sampai berkerut-kerut. Pendar di matanya menyala terang seiring otaknya yang terus berpikir.

Di belakang tubuhnya, aku melihat sulur-sulur hijau zamrud milikku berkelahi dengan energi sihir yang bocor dari tubuhnya. Sulur energi biru berlapiskan violet miliknya berubah pucat sebelum benar-benar menghilang. Beralih ke sisi lain, aku melihat sulur putih keemasan si Pemarah Nomor Dua menuju nasib yang hampir sama.

Berdoa dalam hati, aku kembali menunduk, memohon agar sulur-sulur hijau zamrud sialan itu berhenti, menghilang bersama rasa sakit mengerikan ini dengan segera.

"Demi Langit, Jerald, anak ini juga tahu batasannya! Dia paling sering dihukum cambuk di sini—aku sampai hapal wajahnya—dan dia bukan kebal terhadap rasa sakit bukan?" Si Pemarah Nomor Dua mendesak. "Dan dia sudah mendapat ultimatum itu, ingat? Siapa yang tidak takut pada ancaman akan dijual ke pelelangan budak? Dia tidak akan berbuat kesalahan lagi jika masih sayang nyawa. Aku berani jamin."

Jerald menimbang-nimbang lagi. Kerutan di dahinya semakin dalam, membuatku bertanya-tanya apa ia betul-betul sedang berpikir ataukah hanya sedang merasakan keanehan pada tubuhnya. Ketakutan begitu menjalar di nadiku hingga tanpa sadar aku telah menarik kepala terlalu tinggi.

Buru-buru aku menunduk lagi ketika ia menoleh. "Apa yang kau tunggu, Kutu?! Pergi sana dan kerjakan bagianmu di dalam mesin!"

Tanpa memberi hormat lagi, aku berbelok ke arah beberapa kotak peralatan yang terbuka. Selagi memilih peralatan, aku mengeluh dalam hati, menatap kapal udara itu lagi dengan perasaan kacau balau.

Aku akan mendatangi masalah.

Mesin tidak pernah lagi menjadi teman baikku sejak lima tahun lalu. Aneh sekali mengingat sewaktu kecil, mesin-mesin sudah menjadi sarapanku setiap hari bersama Ayah di bengkel kecil kami.

Kalau saja tahu di masa depan kami akan bermusuhan begini kentalnya, aku tidak akan mau memilih Serikat Pandai sebagai tempat bernaung. Mungkin sebaiknya aku mengikut Suri di Serikat Pengrajin. Membuat senjata dan perabotan tampak lebih cocok untukku daripada berurusan dengan fluida-fluida sihir yang langsung lenyap begitu saja dalam sekali pandang.

Aku mengambil beberapa setel kunci ring berbagai ukuran, mur dan baut, kunci pas, serta obeng, tapi tidak dengan kotak peralatan. Dilihat sekilas, aku hampir niat menjalankan pekerjaan hari ini.

Menaiki tangga hidrolik, aku mengernyit merasakan sakit menyengat itu semakin parah. Sensasi panas itu kembali muncul. Sambil menahan stimulus yang semakin kuat itu, aku meniti anak tangga satu per satu.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang