Wattpad Original
There are 4 more free parts

Bab 3

52.1K 5.2K 68
                                    

"Dill, yang namanya Gavin itu cakep, nggak, sih?"

"Hmm," sahut Adilla sekenanya ketika tiba-tiba Vaya menanyakan hal konyol terkait Gavin.

"Lo bilang dia naik mobil gede warna hitam, gitu kan?" tanya Vaya lagi.

Adilla tidak lagi menyahut. Dia memilih terus memainkan ponsel sambil menyeruput es kopinya.

"Berarti itu memang dia," sahut Ivan yang tengah asyik mengembuskan asap rokok. Dia mengedikkan kepalanya ke arah gerbang kampus yang menghadap tempat mereka duduk saat ini.

Adilla mengernyit mendengarnya. Dia segera mengangkat kepala, mengikuti arah tatapan Ivan, lalu langsung terperangah ketika melihat Gavin berdiri di samping pintu kemudi mobilnya. Tentu saja Adilla kaget melihat keberadaan Gavin di kampusnya, padahal dia sama sekali tidak meminta pria itu menjemput.

Gavin terlihat tengah sibuk dengan ponsel. Detik berikutnya, ponsel yang tengah digenggam Adilla langsung bergetar. Refleks Adilla bangkit, berniat mendatangi Gavin. Dia mengabaikan panggilan telepon Gavin dan menyerahkan gelas kopinya pada Vaya.

"Bilangin Ghani, gue nggak jadi numpang," ucapnya sambil bergegas berjalan ke arah Gavin yang sudah mengedarkan pandangan ke area halaman kampus.

"Gavin!" Adilla agak terengah karena pada akhirnya dia memilih berlari kecil demi mencapai tempat Gavin berdiri.

Gavin menatap Adilla dengan saksama, menggerakkan matanya memindai tubuh gadis itu. Wajah tenangnya masih sama seperti beberapa hari lalu saat mereka bertemu.

"Kamu lari-larian?"

Adilla tidak langsung menjawab, dia hanya berdiri canggung. Entah mengapa tiba-tiba Adilla menyadari bagaimana kontrasnya penampilan mereka ketika berdiri berhadapan.

Adilla hanya mengenakan kemeja longgar dengan celana jeans pudar yang membalut tubuh mungilnya. Rambut hitam sebahunya juga terikat asal-asalan akibat cuaca panas yang membuatnya agak gerah. Sedangkan tampilan Gavin sangat rapi dengan kemeja kerja pas badan, lengkap dengan celana dan dasi yang semakin menunjukkan sosok dewasa dan mapan.

"Kamu bilang, saya langsung ke sana aja," ucap Adilla, mengabaikan pertanyaan Gavin sebelumnya. Dia tentu saja kaget karena tiba-tiba Gavin muncul di kampusnya.

Tadi malam ketika Gavin meneleponnya untuk janji bertemu kembali, pria itu meminta Adilla untuk datang langsung ke kafe tempat mereka bertemu pertama kali.

"Urusan saya cepat selesai, jadi bisa sekalian jemput kamu," sahut Gavin sambil melirik ke arah belakang Adilla. "Keberatan?"

Adilla tahu Gavin tengah menatap ke arah di mana teman-temannya duduk. Sepertinya dia tadi sempat melihat Adilla datang dari arah sana.

"Enggak, kok," jawab Adilla cepat.

"Mereka teman-teman kamu?"

Adilla mengangguk. Dia sudah akan berjalan menuju pintu penumpang ketika menyadari bahwa Gavin belum beranjak dari posisinya.

"Kamu sudah memberitahu mereka tentang kita?" tanya Gavin lagi.

Kita? Adilla merasa aneh saat mendengarnya. Namun, Adilla tetap mengangguk untuk memberi jawaban. "Mereka sahabat-sahabat saya. Sudah bareng dari SMA. Jadi, saya memang sudah cerita kalau mau pergi sama kamu," terang Adilla, menjelaskan hubungan akrabnya bersama teman-temannya.

Gavin mengangguk, seakan puas oleh jawaban Adilla yang sudah mengonfirmasi hubungan mereka pada teman-temannya.

"Ayo, saya sudah lapar." Gavin bergerak membukakan pintu penumpang untuk Adilla dan mempersilakannya masuk.

The First OneWhere stories live. Discover now