Wattpad Original
There are 5 more free parts

Bab 2

74.7K 5.6K 94
                                    

"Serius duda?!"

Adilla hanya tersenyum tipis ketika mendengar pertanyaan kaget Vaya, salah satu sahabatnya.

"Wah!" Vaya menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi takjub.

"Gue tau, kadang lo anaknya memang suka nekatan kalau lagi kumat. Terus lo langsung bilang setuju buat dijodohin?" Vaya ingin menegaskan pernyataan Adilla beberapa saat lalu. "Ini kawinnya beneran sama duda?! Ya elah, Dill! Kayak kekurangan stok cowok aja."

"Pendekatan, bukannya kawin. Sembarangan lo!" sanggah Adilla dengan wajah pura-pura jengkel ketika menerima respons heboh Vaya.

"Alah! Lo udah berani terima tawaran om lo. Lo pikir dia bakal ngelepasin gitu aja? Lo udah jawab oke, kan? Nah, siap-siap, deh. Nanti jangan sibuk misuh ya, kalau ternyata diminta kawin secepatnya," sahut Vaya lagi dengan raut meremehkan.

"Dia setuju, kok, kalau pendekatan dulu." Adilla mulai terganggu dengan celetukan Vaya.

"Cowok mah gitu awalnya, tarik-ulur dulu untuk lihat respons ceweknya. Setelahnya, baru deh ...."

Ivan yang sedari tadi asyik memainkan gim, akhirnya ikut bicara meski matanya tidak juga lepas dari layar ponsel. Ketiganya memang sedang duduk santai di pinggiran halaman kampus, menghabiskan sisa waktu kosong setelah selesai kuliah. Kebetulan juga sedang tidak ada tugas yang perlu segera dikerjakan.

"Itu lo," ucap Adilla jengkel, merengut kepada Ivan.

"Sama aja. Setelah dengar cerita lo tadi, gue jadi ngebayangin gimana karakter tuh duda. Lo yang biasanya selalu berusaha nggak peduli kalau didekatin cowok, malah nggak berkutik pas pertemuan pertama. Kelihatan banget dia tipe dominan kayak om lo. Fetish lo banget, tuh," Ivan masih bicara tanpa memandang ke arah Adilla.

"Fetish apaan, coba?!" protes Adilla, merasa semakin jengkel. "Lagian, si Gavin ini mana bisa disamain dengan bocah-bocah yang ngedekatin gue selama ini. Pasti bedalah," lanjut Adilla lagi, menyanggah cercaan Ivan.

Ivan akhirnya beralih dari ponselnya, lalu menatap Adilla dengan senyum kecil. "Dari kapan, sih, kita bareng? Lo selalu nggak percaya kalau gue bilang gue bisa baca isi kepala lo."

"Lagian kenapa, sih, Dill? Lo nggak harus ikut perjodohan segala kalau mau cepat keluar dari rumah, kan? Belum pasti juga tuh cowok bakal ngeboyong lo ke rumah sendiri. Kalau nanti dia malah ikut tinggal di rumah om lo atau dikumpulin sama mertua, gimana? Ih, yang ada makin nggak bebas," sela Vaya dengan raut horor.

Adilla tidak menyahut. Pertanyaan seperti itu sudah sering keluar dari mulut Vaya. Mereka juga sudah sering membahasnya.

"Gimana kalau fokus kuliah aja? Lulus cepat, terus ambil S2. Pilih yang di luar kota atau coba ikut yang di luar negeri sekalian. Tinggalin Jakarta. Nggak usah balik-balik lagi. Beres." Ivan bicara sambil kembali memainkan permainan di ponselnya.

Adilla tersenyum masam mendengarnya. "Baru juga kuliah tahun kedua, masa gue mesti nunggu bertahun-tahun dulu baru bisa cabut dari rumah?"

"Kalau mau cepat, berarti memang cuma nikah solusinya. Mau kabur juga lo nggak berani, kan?" sahut Ivan lagi dengan mata tetap fokus pada layar ponsel.

Ivan memang selalu bisa mematahkan semua argumen Adilla. Sering kali Adilla tidak bisa menyanggah apa pun yang keluar dari mulut cowok berkarakter santai itu.

"Gue bukannya mau cabut dari rumah sekarang. Cuma, pas Om Adam nyuruh gue kenalan sama anak temannya, gue berasa kayak disodorin pintu keluar yang terbuka lebar. Dan gue nggak bego untuk ngerti apa tujuan sebenarnya dari perjodohan ini," ucap Adilla pelan sambil menundukkan kepala, tiba-tiba sok sibuk memeriksa isi ponselnya.

The First OneWhere stories live. Discover now