Wattpad Original
There are 6 more free parts

Bab 1

139K 7.2K 147
                                    

Adilla memutar ujung jari telunjuk pada bibir cangkir miliknya. Dia enggan memulai, sekaligus masih menolak untuk menatap langsung pada sosok pria di depannya.

Mereka sudah berkenalan secara formal beberapa waktu lalu. Saat ini keduanya memilih diam dan menikmati minuman masing-masing.

Adilla tahu bahwa Gavin tengah memandangnya hampir tanpa henti. Itu yang semakin membuat dia enggan untuk mendongak dan membalas tatapan pria itu.

"Kamu keberatan?"

Mau tidak mau, Adilla harus mengangkat kepalanya ketika akhirnya Gavin berinisiatif memulai inti dari pertemuan mereka hari ini.

"Kamu keberatan dengan pertemuan ini?" ulang Gavin lagi.

Adilla tersenyum kecil dengan agak sungkan. "Enggak, sih. Tapi karena baru pertama kali bertemu, jadi saya agak ...." Dia tidak melanjutkan perkataannya. Berharap Gavin memahami kecanggungannya saat ini.

"Saya harap kamu mau bertemu saya hari ini karena memang keinginan pribadi, bukan karena paksaan dari Om Adam."

Adilla langsung penasaran akan suatu hal ketika mendengar perkataan Gavin barusan. "Memangnya kamu nggak dipaksa ketemu dengan saya?"

"Nggak."

Jawaban lugas Gavin membuat Adilla sempat termangu. Terlebih ketika melihat kesan santai yang ditunjukkan oleh pria itu.

"Saya memang berniat untuk segera menikah. Jadi, saya datang memang karena keinginan pribadi dan tanpa paksaan."

Adilla terdiam, kemudian mulai mengangguk pelan. Bertingkah seakan mengerti, padahal kepalanya sedang mencerna keras atas jawaban tanpa keraguan yang dilontarkan Gavin.

Sungguh mengagetkan. Perkataan Gavin tadi seakan-akan menunjukkan kalau pria itu sama sekali tidak keberatan dengan penyebab mereka harus bertemu hari ini.

Adilla memang sedang tidak memiliki banyak pilihan. Om Adam, walinya, ingin Adilla mencoba menjalin hubungan dengan pria di depannya ini. Terlebih lagi, Adilla sedang bermasalah dengan seorang pemuda yang beberapa waktu ini terus-terusan mengejarnya, terasa mengganggu. Dia butuh bantuan. Menurut Adilla, menemui Gavin mungkin adalah salah satu jalan pintas teraman untuknya saat ini.

"Jadi," ucap Adilla mengulangi kata yang tadi juga digunakan oleh Gavin, "ini kelanjutannya mau gimana?"

Gavin terlihat sedikit menaikkan alis sambil terus menatap pada Adilla dengan maksud bertanya.

"Keputusannya, maksud saya. Sebagai awal, mau mencoba dulu?" tanya Adilla langsung.

Kali ini Gavin sedikit mengernyit meski detik berikutnya dia langsung tersenyum samar, berhasil menemukan hal apa yang mengganggunya dari sosok gadis di depannya itu.

"Kalau boleh tau, berapa tepatnya umur kamu?"

"Sembilan belas tahun," jawab Adilla dengan agak bingung. Pertanyaannya malah dijawab oleh pertanyaan lain yang harusnya sudah diketahui pria itu sebelum memutuskan bertemu dengannya.

"Baru kuliah?" Suara Gavin terdengar kaget.

"Iya. Mulai masuk tahun lalu."

Gavin mengangguk paham. Sekilas dia tampak menerawang sebelum akhirnya kembali menatap Adilla. "Kamu membuat saya agak kaget," ucapnya.

"Maksudnya?" Adilla mencoba menilik dengan saksama pada ekspresi tenang Gavin.

"Di awal tadi, kamu terlihat canggung dan nggak menunjukkan ketertarikan sama sekali pada pertemuan ini. Tapi berikutnya, kamu malah langsung frontal menanyakan kelanjutannya, seperti nggak sabar mengetahui setelah ini kita mau melakukan apa."

The First OneWhere stories live. Discover now