Chapter 7 : The next second, we both on fire...

7.2K 290 11
                                    

***

            Ekspresi gadis itu pasrah seperti memanjatkan doa, aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena hanya dilukis dengan satu sisi. Aku penasaran dengan sisi yang ia sembunyikan! Entah sudah berapa lama aku berdiri terhanyut dengan lukisan yang dibuat oleh Benjamin, Pamanku. Sepertinya, lukisan ini memiliki jiwa yang terhubung denganku. Kurasakan seseorang yang tadinya asyik dengan pekerjaannya kini berdiri di sampingku, sambil menopang tangan ke dadanya, ikut hanyut dalam jalan cerita yang ia susun dalam otaknya.

            Kisahku dan lukisan ini terhenti. Mendadak berhenti begitu saja. Membuatku tak puas! Tapi biarpun aku memaksanya, jalan selanjutnya buntu. Kugaruk kepalaku heran, tubuhku mulai bergerak gelisah, ujung kakiku mulai mengetuk-ngetuk tak sabaran. Kulirik Paman yang masih terpaku dengan lukisan itu, pandangan matanya kosong seperti terhipnotis, tapi disaat yang sama aku melihat matanya berkilat penuh semangat. Anehnya, saat ini aku justru memerhatikan Pamanku dengan seksama. Sudut bibirku ikut terangkat melihat ia tersenyum. Juga ikut tertekuk kebawah melihat rautnya sedih. Sepertinya, apa yang Paman lihat begitu indah hingga aku bisa ikut merasakan meski hanya melihat rautnya.

            Beberapa saat kemudian, Paman berhenti, kemudian menoleh kearahku dengan tatapan yang meneduhkan, “Siapa namanya?” tanyanya dengan suara lembut. Aku ingat perbincangan ini. Juga aku ingat, dulu kami juga sering menghabiskan waktu menatap lukisan dan kemudian saling bercerita tentang imajinasi kami masing-masing.

            Usia Paman masih terlampau muda, Kakek-nenek menyebutnya sebagai hadiah tak terduga, keajaiban di ujung senja, umurnya saat ini adalah 33 tahun, beda lima belas tahun dengan Papaku. Wajahnya tampan. Gen keluarga kami bisa dibilang unggul, hanya saja tidak sejalan dengan kelakuan. Paman terlahir prematur dan memiliki IQ terlalu tinggi. Kakek-nenek akhirnya terpaksa mengusinya karena tingkahnya yang diluar nalar kami semua ditambah ia tidak mau mengambil saham perusahaan. Paman memiliki pemikiran yang tidak pernah terlintas di pikiran mereka, juga sikapnya yang cenderung tertutup tapi sangat bebas denganku. Mungkin karena...hanya diriku yang sanggup mengerti perkataan Paman Ben.

            Belum sempat aku menjawab, sebuah ketukan pintu menyela pembicaraan kami. Paman segera beralih untuk membuka pintu sedang aku berjalan mendekati meja, haus. Kuteguk teh dengan aroma melati yang sayangnya sudah dingin dengan anggun. Mataku melirik pada seorang gadis yang masuk dengan tinggi sekitar 160-an, rambutnya hitam diikat setengah dengan poni yang menurutku semakin menambah ke-chuby-an pipinya. Kuletakkan gelas itu di meja lagi, kemudian tersenyum pada gadis itu. Paman Ben terlihat kikuk. Inikah yang menyebabkan Paman tak mau kembali.

            “Dia keponakanku,” jelas Paman sambil menggaruk kepalanya, bisa kutangkap rasa was-was di raut wajahnya. Aku mengerling lalu mengulurkan tangan kananku untuk bersalaman, “Jika Ben berkata aku keponakannya, maka...aku keponakannya.., namaku Evelyn,” kataku memperkenalkan diri sambil menahan tawa. Paman Ben melotot ke arahku. Haha... Jenius tetaplah pria! Kelemahanmu pada wanita benar-benar adil. Sepertinya ada yang melanggar aturan berpacaran. Aturan nomor satu, jangan mengakui selingkuhan sebagai salah seorang kerabat, karena suatu saat akan ketahuan dengan mudahnya seperti saat ini. Dan sang jenius sudah melanggarnya. Bad moves, Uncle!

            Gadis itu tetap tenang meskipun sempat diliriknya raut Paman yang serba-salah. Aturan nomor dua, jangan pernah mencoba menyangkal kesalahan, jika tidak akan terjadi perdebatan. “Ben tidak pernah cerita tentang keponakan secantik kamu.., aku Fenti Christina,” ia menyambut tanganku dan meremasnya sedikit, tanda lain bahwa dia seorang yang mudah bergaul, suaranya cerlang, ceria dan gemilang, tapi tak bisa menyembunyikan nada dingin yang bisa kutangkap. “Bukan tidak pernah cerita.., tapi..,” kami melepas jabatan tangan kami, kemudian Fenti beralih menatap Paman Ben tajam membuatnya segera terdiam.

Moonlight SonataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang