Chapter 1 : This is how I could taste your lips

11.1K 361 9
                                    

            Aku bahkan tak pernah yakin bagaimana harus mengucapkan kata ‘bersedia’ dalam pernikahanku sendiri. Apa hatiku sudah cukup besar untuk memulai semua ini? Apa sudah cukup besar untuk menyimpan semuanya? Apa aku sudah siap mengarungi bahtera yang timpang ini? Apa benar...aku siap?

            “Ya, aku bersedia...” itulah yang meluncur dari bibirku yang kemudian menjadikan aku terlahir kembali sebagai seorang isteri dari seorang pria yang aku tak tahu mencintaiku atau tidak. Bahtera rumah tangga ini tidak akan bertahan lama, hanya ditopang oleh cintaku saja. Cintaku yang egois. Dan akhirnya mengombang-ambingkan aku dalam ketidakpastian. Haruskah aku teruskan? Tapi, bukankah untuk bercerai terlalu cepat? Pernikahanku baru saja diresmikan sepuluh menit yang lalu. Sudah kepalang basah, kenapa tidak berenang sekalian?

            Aku terus menikmati raut-raut wajah bahagia yang menghadiri pernikahanku dengan Jackson. Menikmati dekorasi dan dentingan piano yang mengiringi acara ini. Aku pantas mendapatkan ini semua. Semua ucapan selamat dan ciuman kebahagiaan memang pantas untukku. Aku adalah anak satu-satunya dan menderita ataupun bersedih tak ada dalam kamus hidupku. “Nikmati saja sayang...jangan mempersulit keadaan,” bisikku pada Jackson. Senyuman hambar tersungging di wajahnya. Kusambut dengan senyuman manis meski hatiku tercabik. Tidak! Aku sama sekali tidak sedih. Jika ada perlombaan gadis paling bahagia di dunia maka akulah orangnya, akulah yang mendapatkan segalanya tanpa harus mengorbankan apapun yang kumiliki.

***

            Baru tiga hari sejak pesta pernikahanku yang adalah putri semata wayang keluarga besar Sugar dengan putra bungsu keluarga Miller. Kami berdua bergegas pulang pada hari kedua setelah malam pertama. Seharusnya kami menghabiskan waktu seminggu, tapi aku justru ingin segera kembali beraktivitas, ingin segera melupakan pada malam mengerikan yang memalukan itu.

            Tak ada satupun yang tau kepulangan kami selain para pembantu yang terkejut karena terlalu cepatnya kami menghabiskan waktu yang seharusnya kami nikmati. Dan hari ini, para pegawai di kantor terlihat berbeda membuatku merasa tak nyaman. “Lina...apa yang terjadi? Aku baru meninggalkan mereka tiga hari dan mereka sudah berbeda, apa ada isu-isu tak sedap yang beredar?” tanyaku pada Lina sekretarisku. Lina terlihat ragu. “Katakan saja,” lanjutku tegas.

            Lina menatapku serius, “Aku akan mengatakannya sebagai seorang teman, Evelyn...kamu lebih dari tau situasi seperti ini seharusnya dapat kau cegah, mereka membicarakanmu karena bulan madumu yang tak sampai 3 hari, setidaknya kau bisa berdiam di rumah jika ada hal-hal yang tak membuatmu nyaman selama di hotel bersamanya,” dan tepat sekali perkataan Lina mengena hatiku. Aku meringis sambil menyandarkan punggungku di sofa, berusaha meringankan sedikit bebanku, “Tapi aku bisa apa? Aku sudah mendapatkannya tapi aku tak bahagia...aku tak bisa berpura-pura bahagia lagi,” aku menatap Lina, “kau...lebih dari tau tentang aku.., kan?” tanyaku.

            Lina terlihat menghela napas panjang dan berjalan mendekat ke arahku, tangan kirinya menepuk bahuku, “Aku...karena aku mengenalmu, sudah sejak dulu kukatakan untuk tak bermain api...sudah kukatakan untuk tidak selalu memaksa kehendakmu pada orang lain...manusia memiliki hati yang tidak bisa dihitung dengan angka, bahkan untuk dijabarkan dengan kata-kata pun sukar, sayang...” Lina sudah akan menjauh dan keluar dari ruangan tapi sebelum dia membuka pintu, aku memanggil namanya. Lina menoleh. “Lalu kenapa kau bertahan denganku, apa yang selama ini kau inginkan dariku?” Lina tersenyum.

            “Aku mengenalmu bukan satu atau dua tahun, aku mengenalmu jauh dari sejak kita mengenal apa itu kosakata, aku mengetahuimu sejak dulu, dan bagiku hubungan kita lebih dalam dari sebuah pertemanan atau persahabatan dan semacamnya, dan juga karena kamu berbeda, kamu tidak menganggap orang selalu baik namun ada kalanya membuat kesalahan, sejauh aku mengenalmu hingga detik ini, aku belum menemukan kesalahan pada tindakanmu, hanya saja kamu memiliki cinta yang terlalu besar yang bahkan kau sendiri tak mampu menghadapinya...aku sebagai seorang teman, sebagai seorang saudara, dan juga sebagai sekretaris kepercayaanmu akan mendukung setiap langkah dan kebijakan yang kau tentukan, Nyonya Miller..,” aku menengadahkan kepalaku kelangit-langit sambil bersandar di sofa. Tak lama terdengar bunyi pintu tertutup.

Moonlight SonataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang