"Bukan siapa-siapa dan enggak penting kita bicarain," jawab gue malas.

○○○○

Gue mengikuti Lucy dan temannya. Entah kenapa gue ingin mengikuti Lucy. Mungkin, gue merindukannya.

"Hi!!"sapa gue ke teman-temannya.

Lucy yang melihat gue, dia langsung menoleh ke arah lain.

"Boleh gue ngomong berdua dengan teman lo ini?"Tanya gue ke arah temannya sambil melihat Lucy yang hanya diam.

Mereka tersenyum, "Silahkan, lama juga enggak apa-apa kok."

Dan mereka meninggalkan kami di koridor ini. Koridor yang bisa di bilang sepi. Sekarang, apa yang harus gue lakukan?

"Hi,"sapa gue ke Lucy.

Lucy sama sekali tidak menoleh ke arah gue, "Enggak perlu basa basi kalau mau ngomong, bilang aja."

Gue menghela napas, "Lo kenapa? Gue kangen sama lo."

"Basi,"desis Lucy yang langsung melihat gue dengan tatapan yang sama seperti dulu, "Apa lo enggak ingat yang gue ucapin dulu? Apa perlu gue ulang lagi?"

"Sekarang gue yang nanya sama lo, apa lo sampai sekarang belum mengerti tentang yang gue ucapin. Apa lo enggak pernah nyadar kalau semuanya hanya kesalah pahaman!" Ucap gue emosi.

Kenapa sekarang gue emosi setiap membahas ini. Wajar saja, ini sudah tiga tahun dan dia sama sekali belum mengerti tentang yang gue ucapin. Semuanya hanya kesalah pahaman.

Lucy berdecih, "Lo yang salah dan lo yang enggak ngerti semuanya, lo yang enggak mau mengakui kesalahan!!"

"Oke gue salah,"jawab gue, dan dia tersenyum miring, "Tapi, selama tiga tahun ini lo enggak mau maafin kesalahan gue? Ngelupain semuanya? Gue siap menebus semuanya, mengikuti apapun yang lo pikirin."

Lucy tertawa, "Menurut lo! Lo bisa menebus sumuanya? Lo yakin?" Teriaknya, dia menatap gue tajam, "Tiga tahun enggak akan pernah buat gue cukup melupakan semuanya, enggak akan bisa dengan mudah gue maafin lo!!"

Gue menahan pergelangan tanggana saat dia mau pergi, "Setidaknya beri gue kesampatan, gue mau memperbaiki semuanya."

Lucy meyentakan tangannya, "Lo bilang lo mau memperbaiki semuanya, tapi lo masih berpikir kalau selama ini gue salah paham."

Dan gue hanya bisa membiarkan dia pergi. Semuanya salah paham, dia yang salah dan niat gue adalah memperbaiki. Memperbaiki pikirannya yang salah tentang semuanya.

Seseorang menepuk bahu gue, "Siapa sebenarnya itu cewek? Mantan lo?"

Gue menggeleng, "Bukan mantan gue."

"Jadi? Gue yakin pastinya ada sesuatu di antara kalian berdua,"tanya Thomas lagi.

Gue menghela napas, "Dari pada gue ngejelasin berulang-ulang, lebih baik gue ngejelasin ke kalian secara langsung."

Thomas tersenyum, "Itu lebih baik!"

○○○○

Mereka semua mengangguk mengerti dan akhirnya mereka tahu semuanya. Mereka juga sudah mengetahui kesalah pahaman itu dan hubungan kami berdua.

"Mau dia teman kecil lo atau apalah, tetap aja gue enggak setuju. Dia nyebelin,"ucap Adlina.

Gue hanya melihat Adlina malas. Kenapa juga gue harus minta persetujuannya, kalau gue mau mendekatin Lucy. Lagi pula, gue hanya mau hubungan kami membaik.

"Memangnya dia enggak pernah mau dengar penjelasan lo?"Tanya Mark.

"Pernah satu kali, tapi dia enggak percaya,"jawan gue.

"Lo harus berusaha lebih keras lagi,"saran Thomas.

Adlina mendengus, "Biarin aja dia, mendingan lo sama Emily aja."

"Adlina, Ricky hanya mau memperbaiki hubungan mereka,"jelas Adlan, yang hanya di cuekkin Adlina.

Emily.

"Ngomong-ngomong, Emily gimana?"Tanya gue.

Saat mendengar nama Emily, Adlina langsung tersenyum. "Kemarin dia nelpon gue, dia nitip salam sama kalian. Terus dia bilang kalau dia enggak bisa nemuin teman seseru kita."

Kenapa dia tidak menghubungi gue? Apa dia mau menjauh dari gue?

"Oh ya Ricky, Emily bilang kalau nomor lo kemarin enggak aktif jadinya dia enggak bisa nelpon lo,"sambung Adlina.

Gue yang sudah berpikiran negatif. Dengan cepat gue mencari kontan Emily dan menelpon Emily. Nada sambung pertama, dan kedua.

"Hallo? Ricky?"

Gue berdiri dan berjalan keluar, "Ini gue."

"Giliran nelpon Emily, kita semua enggak boleh dengar,"ledek Adlina.

"Kalian lagi ngumpul?"Ucap Emily sedih.

"Iya, tapi enggak akan seru tanpa lo."

"Bohong, gimana kabar lo? Baik-baik ajakan tanpa gue?"

Gue tersenyum dan menyandar ke dinding, "Gue enggak akan bisa baik-baik aja tanpa lo."

"Sejak kapan lo pintar gombal? Perasaan gue, gue baru enggak ketemu lo satu bulan."

Teriakan Emily yang sama saja dengan Adlina. Gue merindukannya.

"Lo gimana?"

"Gue baik-baik aja, tapi gue enggak bisa nemuin orang yang gue nyaman berada di sekitarnya."

"Lo cuman nyaman sama gue,"canda gue.

"Mungkin lo benar."

Apa dia juga tidak bercanda, "Lo masih nyalurin hobi lo kan?"

"Masih tapi gue enggak punya guru, teman duet. Guru dan teman duet gue tertinggal di tempat gue yang lama."

Gue tersenyum mendengarnya, "Kenapa enggak lo jemput?"

"Memang nya dia mau? Dia tuh gengsi orangnya, gue pergi aja cuman diam. Ngantar gue di bandara, dia juga diam padahal yang lain meluk gue"

Ternyata Emily lagi menyindir gue, "Karna gue enggak mau kehilangan lo, gue mau ketemu lo lagi."

"Lah? Kenapa jadi lo? Gue enggak lagi ngomongin lo kok."

Aku tersenyum mendengarnya, "Ternyata ada juga yang gengsi selain gue."

Emily mendengus, "Memangnya lo enggak sekolah? Disana siang enggak?"

"Gue sekolah, tenang aja."

"Kalau lo sekolah, kenapa lo bisa nelpon gue?"Tanyanya bingung.

"Karna gue kangen lo,"jawab gue santai.

"Apa?"

"I miss you,"ucap gue.

"I miss you too"

Gue mendengarnya dan tersenyum. Ternyata dia juga. Saat gue mengangkat kepala, gue melihat dia. Dia menatap gue dengan pandangannya yang tidak bisa gue artikan.

"Ricky? Ricky?"

"Gue tutup,"ucap gue dan langsung mematikan telpon.

Dia terdiam disana dan gue juga terdiam. Tatapannya berbeda dengan yang tadi. Gue tahu itu tatapan apa, gue sangat tahu. Tatapan itu...

Rasa gue ke dia masih sama tapi di satu sisi yang lain, dia yang tidak mempercayai omongan gue dan memaafkan gue, membuat hati gue berubah. Membuat gue melihat yang lain.

○○○○

AftertasteOnde as histórias ganham vida. Descobre agora