Chapter 1

28.6K 1.2K 21
                                    

"Mana makan malamnya!"

Suara pecahan piring yang sengaja di lemparkan membuat tubuh ku berjengit kaget, dan menahan nafas saat melihat pecahan kaca yang mengenai kaki ku sehingga mengeluarkan cairan merah kental yang tak lain adalah darah ku. Aku diam memandang wajahnya yang datar tanpa ekspresi walau luka di kaki ku sudah terasa berdenyut.

"Aku telat pulang jadi gak sempat buat makan malam," ucapku dengan datarnya dan berhasil menaikkan tensi wanita di hadapan ku yang tak lain adalah ibu tiriku yang sekaligus merangkap sebagai nenek lampir yang selalu dan tanpa bosan menyiksa ku di rumah.

"Aku gak mau tau mau kamu telat pulang atau apa! Tugas kamu adalah masak dan bersihkan rumah ini bego!" Aku hanya tersenyum mengejek mendengar ucapannya, dan berhasil membuat nya kembali gemas dengan reaksi ku yang tidak menunjukkan rasa takut akibat perlakuannya.

PLAK!

Satu tamparan mulus mendarat di pipi ku, tubuhku ku masih diam tidak bergeming dan tidak meringis kesakitan akibat terkena tamparan kuatnya, ini adalah hal biasa yang sudah kurasakan setelah Ayah meninggalkan ku.

Tiba-tiba jambakan kuat kembali ku rasakan, dan dengan sadisnya ia mendorong tubuhku hingga terjerembab di lantai yang berserakan beling akibat pecahan piring tadi. Bulu ku meremang melihat beling menembus kulit ku menambah luka baru di tangan.

Ibu tiriku langsung pergi setelah mengucapkan sebuah kata yang begitu menampar batin ku membuatku hati ku begitu sesak, diriku seakan tersedot pada lubang hitam yang membuat ku begitu terpukul atas kenangan buruk yang menimpa diriku.

"Anak pembawa sial!"

Aku hanya diam tidak sanggup berkata apa-apa, rasa sakit beling yang menusuk kulitku tidak kurasakan lagi. Sekuat tenaga aku berusaha berdiri sambil menggigit bibir menahan perih luka di tangan, beling yang berserakan di lantai kini ku bersihkan dengan pelan dengan darah yang berada di lantai.

"Kayla anak yang kuat, gak boleh nyerah segitu aja." Ucapku menyemangatkan diri sendiri, dan kembali dengan langkah lemas menuju kamar ku untuk membersihkan luka yang ada di tangan ku.

.

.

.

Suara adzan subuh berkumandang membangunkan ku, mata ku mengerjab untuk menetralkan penglihatan yang masih mengabur, luka yang sudah ku obati masih membuat ku meringis karena pergerakan ku harus terbatas. Ugh!

Dengan pelan aku bangkit untuk melaksanakan rutinitas wajib yang merupakan tugas seorang muslim, setelah itu aku melanjutkan rutinitas pagi seperti biasanya untuk ke sekolah.

Suasana rumah masih terlihat sepi menyadari ini masih terlalu pagi, aku sudah terbiasa bangun begitu awal dari pada pembantu yang bekerja di rumah ini dan si nenek lampir yang begitu keji itu tentu masih tidur di atas kasurnya yang nyaman itu.

Kaki ku melangkah ke arah meja makan menyiapkan roti untuk bekal ku di sekolah. Aku tidak terlalu suka pergi ke kantin saat di sekolah karena sukses mengenyangkan perutku karena mendengar ejekan dari serentetan siswa di sekolah ku yang tidak ada capeknya untuk mengejek diriku.

Setelah selesai, Aku meminum susu yang sudah ku siapkan tadi sebagai sarapan pagi kemudian langsung beranjak keluar rumah untuk pergi sekolah menyambut hari baru yang sama dengan hari lainnya, tidak ada rasa spesial atau bahagia dalam diriku setelah Bunda tercinta ku meninggal. Semuanya terlalu monoton, dan sangat membosankan untuk ukuran anak remaja seperti ku. Pergi sekolah setelah itu pulang dan berakhir mengurungkan diri di kamar kecuali Ibu Tiriku ku berulah kepada ku.

Tiba-tiba saja ingatan masa lalu terlintas dalam pikiran sehingga membuyar pandangan ku akibat air mata yang telah memupuk di mataku siap turun membasahi pipi tanpa di minta, kenangan terindah yang tak mungkin bisa kurasakan lagi begitu menghimpit hatiku.

Bunda, Kayla rindu Bunda.

Satu tetes air mata berhasil turun di pipi ku, lubang yang selama ini ku tutup dengan rapat kini terbuka kembali membayangkan kilasan-kilasan yang membuatku ingin sekali pergi dari dunia ini. Hidupku teramat lelah dengan siksaan yang selalu kurasakan dari ibu tiriku.

Mengharapkan pelukan ayah yang tidak akan bisa ku dapatkan karena sibuk mengurusi pekerjaannya di luar negeri, hidupku bagaikan kertas putih kosong.

Air mata kini sepenuhnya mengalir deras di pipi, bersyukur sekarang tidak terlalu ramai orang karena masih terlalu pagi. Dengan kasar aku menghapus air mata ini walaupun ingin sekali aku menangis lama, ingin berteriak kepada langit kalau aku lemah, namun sesuatu mencegah ku dan meminta ku untuk bertahan dan bersabar.

Selama di perjalanan aku hanya bisa diam menatap kosong di luar hingga sampai di halte bus dan berjalan pelan menuju gerbang sekolah yang berada tidak jauh dari halte.

langkah ku terhenti karena melupakan sesuatu dengan gerakan cepat aku membuka tas kembali berniat mengambil kacamata yang selalu ku pakai. Penampilan ku yang hampir mirip seperti gadis kutu buku di sekolah menjauhkan ku dari teman-teman yang sepertinya jijik dengan gadis pembawa sial seperti ku.

Sikap ku yang begitu tertutup dan irit sekali bicara membuat ku mendapat julukan kedua setelah pembawa sial yaitu gadis dingin. Aku hanya diam saat mereka mengejek ku, memaki ku bahkan menyiksa ku di sekolah. Sikap ku seperti patung yang tidak mempunyai nyawa tetap diam walaupun di siksa oleh siswa di sekolahku.

Nafasku lega menyadari bahwa aku lah siswi yang pertama tiba di sekolah, kaki ku kembali berjalan menyusuri koridor yang begitu sepi bahkan masih tampak gelap. Pak Maman yang bekerja sebagai penjaga sekolah tidak kutemukan saat di gerbang, aku sangat bersyukur ia membukakan pintu lebih awal karena mengetahui siswa yang tercepat datang adalah diriku.

Aku terduduk setelah masuk ke dalam kelasku dan seperti biasa diriku selalu di temani oleh novel yang ku baca setiap hari untuk menghilangkan rasa bosan.

seiring waktunya berjalan sekolah yang tadinya sepi, kini terdengar suara siswa yang sudah datang masuk kedalam kelasnya, sedangkan aku masih fokus kepada novel yang kubacakan tidak peduli sudah berapa siswa yang datang.

Namun, novel yang ku baca tiba-tiba saja di tarik oleh tangan mulus yang tak lain pemiliknya adalah teman yang selalu membully ku tanpa puas. Aku hanya mendesah pelan saat acara membaca ku terganggu oleh gadis kecentilan dari mereka. Tania dan tiga sekawan yang senantiasa selalu ikut dengannya dimanapun dia berada tersenyum licik kearah ku, dan yang seperti ku perkirakan aku akan terkena pembullyan mereka lagi seperti kemarin-kemarinnya.

Tidak kah mereka merasa bosan sudah terlalu sering menyiksa gadis seperti ku? Yang notabennya adalah gadis pembawa sial dan gadis es seperti ku. Aku begitu bosan dengan pembullyan mereka yang hanya wanita sering lakukan kenapa tidak menggunakan penyiksaan lainnya seperti membunuhku dengan pisau tentu aku akan siap menerimanya karena tidak ada hal lagi untuk ku bertahan hidup, semua orang mengharapkan aku lenyap dari dunia ini bukan?

"Si upik abu ternyata udah ke sekolah ya? lo gak bosan jadi penunggu kelas?" Aku hanya diam memandangnya dengan wajah datar tidak membalas untaian kata kasar yang di tujukan kepadaku.

"Lo bisu ya? Gue lihat setiap gue nyiksa lo gak ada pernah keluar kata di mulut lo," Tania kembali menolak bahu ku cukup keras sehingga aku sedikit linglung di buatnya walaupun aku masih dalam terduduk.

"Eh bisu! Ngomong dong!" Aku tertawa mengejek mendengar ucapannya, bodoh sekali ternyata, dia mengatakan aku bisu tetapi memintaku berbicara, dasar bodoh! Mana ada orang yang dikatakan bisu bisa berbicara.

"Muka datar lo pingin banget gue setrikain!" Aku kembali tersenyum mengejek mendengar ucapannya,tidak ada rasa takut sedikitpun saat aku berhadapan dengannya tidak seperti yang lain saat di bully olehnya justru malah ketakutan dan meminta ampun kepadanya. Bukan Kayla namanya yang harus menyerah dengan manusia bisa seperti dia, aku sudah berjanji kepada diriku tidak akan bersikap lemah di depan orang dan menangis.

"Emang gak ada baju lagi ya buat di setrikain sampai muka gue harus lo setrika?" ucapan ku sukses membuatnya melongo menjawab perkataanya, begitu juga dengan teman-temannya yang sama melongonya dengan Tania. Ini pertama kalinya aku berbicara dengan mereka setelah pembullyan yang bisa mereka lakukan.

Lorcin

K A Y L A (SUDAH DI TERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang