Part 7 Petrichor Dusk

4.4K 654 37
                                    

Marina dan Sam duduk di samping kaki rumah kepiting mereka. Meski sesak, mereka mencoba sesekali melepas masker oksigen yang mereka pakai untuk merasakan hujan pertama dalam lima tahun terakhir.

"Bau ini, Sam, bau yang sudah lama kunantikan. Bau hujan. Petrichor, sebutan untuk bau ini."

"Petrichor? Itu akan jadi nama tengah yang bagus untuk anak kedua kita nanti."

"Setuju. Eh bagaimana kondisi, René?"

"Dia sudah bangun. Ada benjolan besar di jidatnya. Dia terkejut saat kuberitahu ini sudah hari keempat sejak dia tak sadarkan diri. Sebentar lagi dia keluar."

René, sambil mengenakan masker oksigennya, berjalan pelan keluar dari rumah kepiting menuju Sam dan Marina.

"Benjolan besar katamu? Tapi kemarin benjolan itu belum ada..." Marina cukup kaget mendengarnya.

René rupanya mendengarkan pembicaraan mereka.

"Hai kalian. Apa benjolanku pantas jadi topik pembicaraan di sore yang indah ini? Ah, rupanya sedang hujan ya?"

Marina bangun dari tempatnya, lalu mendatangi René dan melihat jidatnya dari dekat.

"Mana kulihat... Astaga benjolan ini sebesar bola golf! Kau tidak merasa aneh? Apa itu sakit?"

"Tidak sama sekali. Terasa seperti bagian tubuhku sendiri."

"Itu memang bagian tubuhmu kan? Tersusun atas selmu," kata Marina.

"Bukan itu maksudku. Benjolan ini rasanya seperti organ alami yang sudah kumiliki sejak lahir. Dan satu hal yang aneh adalah, pandanganku semakin baik. Aku bisa melihat benda di kejauhan dengan sangat jelas, dan juga di dalam kegelapan."

"Kau yakin itu tidak sakit? Aku bisa menyimpulkan kalau kondisi tubuhmu sekarang adalah mutasi akibat memakan ikan anglerfish merah raksasa itu. Seharusnya aku tidak memberikannya padamu."

"Kau bercanda. Mana ada mutasi yang terjadi dalam waktu empat hari saja?"

"Bercanda? Saat bekerja bersama Profesor Okan, kami menciptakan debu nano yang dapat bekerja sebagai katalis reaksi. Temuan kami, reaksi mutasi dapat dipercepat 1000 kali akibat katalis itu. Nah masalahnya kami tidak tahu nasib debu itu sekarang semenjak pabriknya di Papua disegel."

"Jadi aku ini semacam mutan begitu? Maksudmu, entah Aku atau ikan itu pernah terpapar debu nano ciptaanmu itu?"

"Begitulah. Tapi karena kau tampaknya baik-baik saja. Aku tidak terlalu kuatir. Hanya saja, Aku akan tetap memeriksanya nanti."

"Ya. Terserah. Aku mau bersenang-senang dulu."

René masuk ke dalam hujan. Pelan-pelan ia melepas maskernya. Tubuhnya terasa segar. Matanya tertutup dan lidahnya terjulur untuk menangkap air hujan yang jatuh.

Tiba-tiba René membuka matanya.

"Marina, ini bukan hujan asam kan?"

***

Malam hari di ruang makan, René tampak tenang. Terlalu tenang.

"Ada apa? Mengapa kalian berdua menatapku seperti itu?"

"Siapa yang tidak mau menatap benjolan itu? Apalagi bentuk dan warnanya mencolok. Siapapun akan menoleh dan memperhatikan jidatmu."

"Kalian tidak terlihat seperti 'menoleh dan memperhatikan' jidatku, tapi lebih tepatnya merasa jijik."

"Oke. Jijik? Benar. Nah apa kau sudah siap kuperiksa?"

"Siap ibu mertua."

Marina mulai memeriksa benjolan kemerahan di jidat René. Ia menyayatnya sedikit. Benjolan itu mengeluarkan darah.

MINDSHIFT [TAMAT]Where stories live. Discover now