Pedih

28.6K 1K 16
                                    

Gue hanya bisa tertunduk memandang Sepasang sepatu berwarna Merah, yang sedang gue kenakan sembari menunggu dokter memberi pertolongan kepada Ari yang kondisinya sangat buruk.

Tak ada air mata setetes pun yang mengalir di pipi ini. Seberapa keras gue mencoba untuk menangis, agar rasa sakit dihati ini berkurang.

Beberapa orang yang berpakaian serba putih keluar dari ruangan Yang Ari tempati, yang gue yakini sebagai perawat.

" Ari sudah sadar. "
Ucap salah satu perawat ke Tante Clara.

Dengan cepat gue dan Hanzel segera masuk kedalam dan melihat kondisi Ari. Tampak seorang laki laki yang bermuka pucat dengan senyum lirih tipis, terbaring lemah di ranjang.

" Ri, ini gue Evelyn? Ingat? "
tanya gue ke Dia yang ia balas dengan anggukan kecil.

" lo harus kuat! Dimana Ari yang Ceria? Lo harus bertahan. "
ujar gue yang hanya dibalas dengan Gelengan.

" Gue cinta sama lo Evelyn! "
Ucapnya dengan suara yang sangat pelan, penuh penderitaan.
gue hanya bisa mengangguk sambil mengucapkan kata iya.
Mata coklatnya menatap mata gue lekat lekat. Bibirnya Menyunggingkan senyuman tipis, yang menggambarkan satu kata. PEDIH.

Dia menarik pergelangan tangan gue, dan menaruhnya dibawah tangan Hanzel.

" Kalian harus terus bersama, ya? "
Ucapnya sambil meneteskan air mata.

Dia hanya terus menatap mata gue dengan raut wajah yang tak bisa di artikan. Memberikan gue senyuman penuh penderitaan, tanpa ada sedikit pun senyuman bahagia miliknya.

Ia menghela nafas berat. Terus tersenyum sembari menatap mata gue.

Hingga ia memejamkan mata tak sadarkan diri.

" Dokterr! "
Pekik gue membabi buta.

Ari kembali tak sadarkan diri, gue dan Hanzel diperintahkan keluar, karna dokter akan memeriksa Ari.
Hati gue sakit, ada rasa takut kehilangan Ari di hati gue. Mulut gue tak henti hentinya merapalkan doa untuk Ari.
Hingga sang dokter keluar dari ruangan sambil menggeleng gelengkan kepala.

" Ia sudah pergi. "
Ujar sang dokter

Sebuah kalimat yang meluncur dari mulut Dokter, yang mungkin Hingga ajal menjemput gue, gue takan pernah lupakan. Air mata yang sedari tadi tak bisa keluar, keluar sangat deras, mengalir begitu kencang. Koridor yang penuh dengan Isakan, Penuh cacian, penuh dengan kalimat penolakan, penuh makian kepada dokter dan para perawat.

' Kenapa Harus Ari? '
Kalimat yang tersirat dibenak gue saat ini.

Dia yang selalu bisa buatku tertawa..
Kini telah pergi untuk selamanya..
Dia yang dihati ini bukan yang utama..
Akan menjadi orang pertama yang sangat kurindukan..

Sebuah pundak yang hangat menjadi sandaran gue saat ini. Tak bisa gue pungkiri, meski yang ada di hati gue hanyalah Hanzel, tetap saja kehilangan Ari adalah Hal yang paling menyakitkan dalam hidup gue.

Seakan mata telah lelah menangis, kepala ini terasa begitu sakit, tubuh begitu lemas, perut begitu mual, dan pandangan menjadi Gelap.

Gue terduduk di Hamparan rerumputan yang begitu indah. Tak ada suara bising, tak ada asap dan polusi, semuanya sunyi senyap. Gue melihat Ari sedang bersandar disebuah batu yang tak jauh dari tempat gue duduk, sembari menatap wajah gue.

" Indah? "
tanyanya.

Gue hanya bisa mengangguk. Tatapannya begitu tulus, ceria.

Sebuah Bis bercat putih berhenti didepan gue. Ia bangkit dan lekas bersiap masuk ke dalam Bis.

" Mau kemana? boleh gue ikut? "
Ujar gue sembari menatapnya.

" Boleh, tapi nanti pada saatnya. "
Ucapnya sambil memberikan senyum tulusnya.

Kepala gue terasa berat, semuanya terasa gelap. Beberapa kali gue mengerjap ngerjapkan mata.

Tadi Hanya Mimpi?

Gue melihat ke sekeliling, Sebuah ruangan bercat putih, dengan bau obat obatan yang menyengat. Terlihat Hanzel tengah menggenggam tangan gue erat sangat erat, sembari menyandarkan kepalanya di ranjang gue.

Gue di rumah sakit? Kenapa?

" Lo udah sadar? "
Tanya Hanzel dengan suara serak.

" Huh? "
tanya gue balik, dengan nada heran.

" Tadi lo pingsan, udah 4 Jam. "
Ucapnya.

What? 4 Jam?

" Ari? "
tanya gue yang dibalas dengan helaan nafas berat milik Hanzel.

" Iya, tadi dia udah di Makamkan. "
Ujarnya.

Air mata kembali mengalir dari mata gue, seakan gue adalah wanita paling lemah di dunia ini, yang cuma bisa nangis doang.

" Dia begitu berarti ya buat lo? "
tanya Hanzel dengan suara lirih.

" Iya, dia sahabat gue Zel. Gue ga rela kehilangan dia. " Ucap gue kembali terdiam mengingat beberapa hal yang sering kami lakukan.

" Gue mau ke makamnya Ari, Zel. "
Ucap gue lirih.

" Kondisi lo masih lemah. Orangtua lo lagi di perjalanan Ke Sini. "
Ucapnya.

Raut wajah sedih terpampang jelas di wajah Hanzel. Matanya mentap kelantai, tangannya menggenggam tangan gue begitu erat.

" Kenapa? "
tanya gue, dengan perasaan bersalah.

Ia mengangkat kepalanya dan memberikan senyumannya.

" Gue cuma berfikir, kalo gue pergi Lo akan sesedih ini gak ya? "
Ucapnya lirih.

" Hanzel, lo ngomong apa sih? "
Ucap gue sambil menggeleng gelengkan kepala.

Dia hanya tersenyum ke arah gue.

" Lupakan "
Ucapnya singkat.

Ia mengecup kening gue singkat dan segera duduk kembali di Kursi yang ada di samping ranjang, tak lama kemudian mamih dan papih sampai, yang membuat Hanzel pun pamit pulang.

***

Haiii Guyssss!! Sorry Saya baru Update.. :') Aaaaa Arii Pergiii.. :'( Maaf kalo Part ini Gaje, abal, dsb. Maaf juga buat para Fans Ari saya ga bisa Kasih Ari bareng sama Evelyn.. :') Pokonya Keep Vomment ya Guys! dan jangan lupa Baca Cerita Saya My Love Diary's Okay?
Love Yaa~

1 Day 1 KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang