After We Thought The World Has Ended -- @Atikribo

549 20 11
                                    

Uname:
Tema: hanya kita
Judul: After We Thought The World Has Ended
***

AKU KIRA aku sudah mati. Seluruh tulang tubuhku serasa remuk. Gaung rintih terdengar jelas di telingaku pada ruang sunyi ini. Aku kira aku sudah mati. Aku tak bisa melihat apapun dalam gelap, dan dinginnya lingkungan sekitar begitu menusuk tulang, membuat seluruh sendi terasa nyeri. Aku kira aku sudah mati.

Semua terjadi begitu lambat dan maha dahsyat. Alam mengamuk, bumi bergetar tanpa henti membuat seluruh bagunan hancur tak tersisa. Gunung meledak dan laut pasang setinggi rembulan; menghantam segala isi kota, menghanyutkan para balita. Jeritan mereka masih terngiang dalam kepala, meninggalkan kenangan gelap yang traumatik. Sirine terus berbunyi; berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkan lebih dari satu jiwa, tapi akhirnya maut menghantam mereka juga. Aku terkapar lemah, menghadap ke atas, tak tahu apa yang sedang kulihat.

Terasa hembusan angin menerpa wajahku. Mungkin aku tidak berada di dalam sebuah ruangan, aku tak tahu, aku tak bisa mengingat apapun. Aku kira aku sudah mati, tetapi ternyata aku terjepit di antara reruntuhan bangunan. Susah payah aku bergerak keluar. Beton dingin di sekelilingku sangat sulit untuk dipindahkan, tapi mungkin malaikat masih mau membantu. Hal yang pertama kulihat selain kota yang rata dan manusia tak bernyawa adalah ratusan bintang di langit malam yang sejernih kristal. Ini kali pertama aku melihatnya tanpa polusi cahaya. Senyap dan gemerlap, tanpa manusia yang tersisa.

Aku kira aku sudah mati. Tapi tidak, bumi masih berputar, aku masih bernapas. Hanya aku dan kota hantu.
-------
Entah sudah berapa lama aku berjalan untuk bertahan hidup, mencari pakaian layak pakai untuk menahan hawa dingin malam hari dan terik matahari di siang harinya. Sebulan? Enam bulan? Atau lebih dari itu? Sekalinya aku temukan manusia lain, mereka tinggal tulang belulang. Mati. Meninggalkan tubuh yang mulai dekomposisi; menjalani siklus mereka yang terus berputar: kembali lagi ke tanah. Aku tak yakin setelah diberi kesempatan kedua oleh-Nya untuk bersyukur karena masih hidup atau menyesali hidupku di tempat yang telah mati.

Mencari makan saja sulit. Terkadang aku menemukan satu dua makanan kaleng dari supermarket yang tak lagi beroperasi. Terkadang juga aku menemukan makhluk-makhluk kecil yang bisa bertahan dari segala malapetaka itu; memakannya kala persediaan telah habis seluruhnya. Terkadang aku tak memakan apapun atau meminum apapun jika sedang tidak beruntung.

Rasanya sudah lama aku tidak bicara dengan seseorang. Untung jika aku menemukan seekor serangga untuk diajak bicara, tapi rasanya aku sama sekali belum menemukan makhluk itu. Terpikir beberapa kali olehku untuk mengakhiri hidup, tapi yang benar saja? Kesepian bisa membunuh; aku tahu itu. Namun biarlah aku menikmati rasa sepi ini; mati secara perlahan. Tidak ada manusia lain rasanya begitu tenang dan setiap hari aku bisa mendengarkan detak jantungku sendiri yang tak melambat maupun berdetak lebih cepat; konstan bagaikan detik jam yang terus berputar tiap menitnya.

Namun hari itu aku mendengar suara lain, "Sakit, tahu! Kau menginjak tanganku."

Jantungku mungkin berhenti sedetik. Entahlah, ini pertama kalinya aku mendengar suara seorang perempuan setelah sekian lama. Kulitnya pucat, kantung matanya hitam. Matanya coklat terlihat kusam. Aku bisa melihat keinginannya untuk mati, sama sepertiku. Rasa sepi dapat membunuh. Ia berbaring dengan rambut hitamnya yang dipotong sangat pendek dan terlihat berantakan, menatapku tajam. "Kamu manusia?" tanyaku.

"Menurutmu?" jawabnya ketus. "Ketika dunia berakhir, manusia belum bisa secanggih itu untuk menciptakan utopia yang penuh dengan robot. Ya, aku manusia." Gadis itu bangkit, mantelnya kumuh dan seadanya, sama sepertiku. Gadis itu tampak lebih muda, mungkin belasan. Berbeda denganku yang nyaris tiga puluh tahun. "Kaia," gadis itu menyebutkan namanya.

"Fiz," balasku. Aku nyaris lupa bagaimana caranya berbincang dengan orang lain. Gadis itu juga tak banyak bicara. Seolah-olah mengikuti instingnya, Kaia mengikuti ke mana pun aku pergi. Aku tak melarangnya, dia juga tidak banyak menganggu. Mungkin ini naluri manusia untuk pergi secara berkelompok, mencari kenyamanan satu sama lain tanpa kata. Kami hanya mencoba untuk bertahan hidup.
-------
Entah bagaimana sebuah sistem terbentuk tiba-tiba. Ia mengambilkan air, aku mencari makan. Aku membuat api, ia merapikan tempat untuk tidur. Ia menemukan sebuah tempat untuk singgah, aku menemukan pakaian baru. Ia pergi untuk buang air kecil dan aku akan menunggunya. Mungkin kami tak banyak bicara. Rasanya tidak ada gunanya membicarakan masa lalu. Kaia tak bertanya, begitu pula diriku. Tidak ada gunanya mengenang mereka yang telah tiada; hanya rasa rindu yang tak bisa lagi direngkuh dan sakit semata. Kami hanya mempertanyakan hal-hal retoris atau terkadang mempertanyakan takdir dan masa depan yang tak pasti.

"Kau pernah berpikir untuk mati?" tanya gadis itu suatu malam. Kami berada di jok belakang sebuah mobil yang tak bisa dipakai lagi, berteduh dari hujan di tengah jalan tol ke arah luar kota besar. Ia bersandar dan pandangannya menerawang.

"Sesekali," jawabku singkat.

"Kenapa Dia memberikan kita kesempatan untuk hidup lagi? Bukankah aneh, orang-orang telah mati dan Dia meninggalkan aku dan dirimu?"

"Mungkin," ucapku lirih, "mungkin masih ada yang lain."

Gadis itu mendengus. "Kalau kita bertemu dengan yang lain. Lebih tepatnya kalau yang lain itu memang ada. Dunia itu luas, 'kan Fiz? Mungkinkah kita bisa bertemu dengan yang lain?"

Aku menoleh, memandanginya yang masih menatap langit-langit mobil. Suara hujan yang menerpa atap semakin terdengar nyaring. Butir-butir hujan menyatu, terbawa arus angin badai di luar sana. "Entahlah," jawabku, "aku bukan Dia. Aku tak tahu hal yang pasti. Saat itu, kupikir aku sudah mati."

"Sama denganku."

Gadis itu menghela napas dan aku mulai memejamkan mata. Kami hanya perlu menunggu hujan berhenti dan tak ada tanda-tanda untuk itu dari alam. Langit kelabu menutupi lautan bintang di langit malam. Menunggu esok dalam lelap mungkin pilihan yang tepat. Namun aku dapat merasakan sentuhan gadis itu di lenganku, membuat mataku kembali terbuka, memandangnya dengan penuh tanda tanya. "Fiz," bisiknya, "aku kedinginan."

Aku mengangguk. Gadis itu mendekatkan dirinya ke tubuhku, tidur dalam pelukan. Aku tak pernah mengatakan bahwa ini cinta atau perasaan apapun, entah apa itu namanya. Ketika semua manusia telah tiada dan kami hanya melihat satu sama lain, yang ada hanyalah dorongan naluri untuk saling melindungi dan menghangatkan satu sama lain dan mungkin ini untuk memenuhi dorongan alamiah seorang manusia.

Tubuhnya menggeliat, mencari kenyamanan dalam hangatnya tubuh. Hujan masih mengguyur bumi dan aku teringat akan kekasihku yang telah tiada. Cara Kaia menggeliat hampir sama dengannya dan tanpa kusadari aku mengecup kening gadis itu.

"Kamu ngapain?" tanyanya tepat saat itu juga.

"Menciumu? Sori, kau mengingatkanku akan dia yang telah tiada," kataku lalu merapatkan jaketnya. "Kembalilah tidur."

Meskipun gadis itu memejamkan mata, ia berbisik, "Sebenarnya, tidak apa-apa kok."

Aku tahu, itu hanyalah dorongan alamiah seorang manusia: untuk disentuh, untuk direngkuh. Kami hanya mencoba untuk bertahan hidup. Kami hanya menyalurkan nafsu. Kami saling mencumbu, memagut; menyalurkan segala emosi yang tak pernah kami ucap. Terpendam terlalu lama bersama dengan memori yang mulai memuai dari kepala. Kehangatan tubuhnya terasa dalam tubuhku. Ia bergerak secara perlahan; merintih, mendesah, dan terengah. Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali aku melakukan ini, tapi baginya ini baru kali pertama. Caranya memanggil diriku secara mengejutkan terdengar lebih manis daripada cara bicaranya yang biasa. Pelukannya semakin erat dan Kaia mengigit bibirnya sampai-sampai aku dapat merasakan tetesan air matanya di bahuku.

Ini bukanlah cinta. Aku paham akan hal itu. Mungkin ini karena tidak ada lagi orang lain di muka bumi. Belum; belum bertemu yang lain. Ini hanyalah naluri manusia semata. Karana hanya ada aku dan dia; menghadapi dunia yang belum mati. Menghadapi dunia yang masih terus berputar, bagaikan jarum jam yang terus bergerak.

Aku kira aku sudah mati. Tapi nyatanya bumi masih berotasi dan aku masih bernapas.

Aku kira dunia telah berakhir. Tapi nyatanya masih ada aku dan dia yang hidup serta kota-kota hantu.

Oneshoot 45 temaWhere stories live. Discover now