27. Reality

36 10 2
                                    

Rin terbangun dari tidurnya tepat dipukul setengah tiga pagi. Nafasnya tampak tersengal dan air mata membasahi pipinya. Rin mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali, masih mencerna situasi di detik sebelumnya dengan ditemani oleh suara jarum jam yang terus bergerak memutari deretan angka pada jam dindingnya. Memecahkan keheningan di kamar yang tidak begitu besar ini.

Rin menghela napasnya panjang lantas dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mulai sadar bahwa kejadian tadi yang berhasil membuatnya ketakutan bahkan menangis ternyata hanyalah mimpi semata.

Mimpi yang memang dulunya pernah menjadi kenyataan.

Rin melirik ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja kerjanya, letaknya berseberangan dengan tempat tidurnya. Rin pun bangkit dari posisinya kemudian melangkahkan kakinya untuk mengambil ponselnya tersebut.

Dia terlihat membuka kontak ponselnya dan berniat menekan satu nomor yang paling sering dia hubungi selama beberapa tahun ini. Mungkin dengan cara itulah Rin kembali merasakan yang namanya ketenangan.

Namun belum sempat Rin menekan ikon telepon, Rin lebih dulu mengurungkan niatannya lalu segera menaruh ponselnya kembali ke atas meja.

Setelah dipikir lagi, sebaiknya Rin tidak perlu membangunkan Dean yang pasti masih tertidur pulas sekarang ini, apalagi untuk masalah sesepele ini. Meskipun Dean tidak masalah sekalipun tapi Rin rasa memang sebaiknya dia tidak melakukannya, karena bagaimanapun juga Dean adalah bos-nya. Memang, kedekatan mereka bisa saja dianggap melebihi kedekatan di dalam jabatan formal semacam itu, tapi tetap saja kan ada kalanya Rin harus membatasi dirinya untuk melakukan tindakan yang menyusahkan Dean.

Rin tampak melirik ke arah jam dinding kemudian bola matanya bergulir ke arah kunci kafe yang tergeletak di atas meja laci di sisi tempat tidurnya. Setelah terdiam selama beberapa saat, Rin pun memilih untuk beranjak menuju ke kamar mandi, berniat membersihkan dirinya.

Tidak berselang lama kemudian Rin keluar dari kamar mandi dengan pakaian hangatnya berupa celana longgar panjang berwarna merah muda dan atasan hoodie berwarna oranye. Rin mematut dirinya di depan cermin di salah satu sudut kamarnya, dia mengeringkan rambutnya dengan hair dryer baru kemudian menguncir kuda rambutnya seperti biasanya.

Setelah dirasa penampilannya cukup rapi, Rin langsung memakai sepatu putihnya. Tidak lupa dia menyampirkan tas kain di bahunya setelah sebelumnya dia memasukkan ponselnya juga kunci kafe. Barulah setelahnya Rin beranjak dari kamarnya.

Dia berjalan menyusuri jalanan sepi di jam tiga pagi ini. Hanya ada sesekali saja kendaraan yang melintas, itu pun para pedagang sayuran yang ingin berbelanja ke pasar.

Tujuan Rin kali ini adalah kafe.

Seperti biasa. Inilah yang Rin lakukan ketika dia ada di situasi di mana dia sedang kacau.

Rin tidak paham kenapa dia menjadikan tempat tersebut sebagai tempat ternyaman baginya, bahkan melebihi kos-kosannya yang beberapa tahun ini dia tinggali. Yang jelas aroma kopi yang melekat kuat di kafe tersebut membuat Rin mengingat aroma tubuh Dean. Dan Dean adalah satu-satunya orang yang selalu berhasil memberikan ketenangan untuk dirinya di tengah segala perasaan kacaunya.

Ya, mungkin semua orang yang melihat Rin akan berpikir bahwa Rin hanyalah seorang wanita pekerja keras yang menjalani rutinitasnya dengan penuh kenyamanan.

Nyatanya, tidak sesederhana itu.

Fakta bahwa Rin pernah ada dititik di mana dia harus menjalani hari-harinya benar-benar hanya sendirian dengan banyak penolakan yang dia alami di dunia kerja, tentunya ada alasan kuat juga yang mendasarinya.

Dimana sebetulnya Rin bukan benar-benar dari kalangan orang biasa-biasa saja.

Rin berasal dari keluarga mampu, bahkan melebihi Amaya sekalipun. Keluarga Rin keluarga terpandang, bahkan hari-hari Rin terlalu sempurna sampai berhasil membuat Rin tidak bisa melakukan apa-apa.

Attakai CaféWhere stories live. Discover now