18. Ketulusan

43 13 12
                                    

Sekitar pukul enam sore, Amaya berjalan ke lantai atas dengan apron yang masih melekat di badannya. Karena kondisi kafe sedang tidak ramai alhasil Amaya bisa melipir sejenak kemari.

Jujur saja, sejak satu jam yang lalu Amaya terus diliputi perasaan khawatirnya pada Sean, dan ia rasa ia tidak akan tenang jika ia belum mengecek keadaan Sean secara langsung. Tentu saja Amaya sekhawatir ini karena dirinya yang tanpa sengaja menjadi saksi bagaimana wanita itu menghina Sean bahkan memutuskan hubungan mereka di detik itu juga setelah ia tahu kalau Sean ternyata bukan orang kaya.

Ya memang sih, apa yang terjadi pada Sean hampir semuanya disebabkan karena Sean sendiri yang memilih untuk membohongi wanita itu, tapi tetap saja hati kecil Amaya sedikit terusik saat melihat bagaimana sorot mata Sean yang begitu sendu karena segala hinaan wanita itu.

Dalam beberapa alasan Amaya paham sekali bahwa ada situasi tertentu yang pada akhirnya membuat Sean mengambil jalan seperti itu. Amaya juga tidak bisa memungkiri satu fakta bahwa di zaman modern ini para wanita bukan hanya melihat tampang atau sebatas ketulusan saja, materi adalah hal yang mereka utamakan di dalam kriteria mereka mencari pasangan. Dan Sean yang menyadari hal tersebut akhirnya malah mengambil jalan pintas dengan cara membohongi wanita itu.

Salah, tentu saja cara yang Sean ambil salah. Tapi sekali lagi, Amaya paham bagaimana perasaan Sean sekarang. Jadi kedatangannya kemari bukan untuk bermaksud buruk sama sekali.

Cklek!

Amaya mengerutkan keningnya dalam-dalam saat ia membuka pintu dan langsung dihadapkan oleh punggung tegap Sean yang berdiri di area balkon. Apron berwarna oranye sudah tidak lagi melekat di tubuh Sean, hanya dibiarkan tersampir di pagar beton tersebut, sementara pemiliknya fokus menatap jauh ke depan sana.

Amaya pun langsung bergerak masuk ke dalam kemudian menggeser pintu kaca pembatas balkon dan ruang utama.

Kriet~

Lalu Amaya melangkahkan kakinya keluar balkon sampai ia berdiri di sisi kiri Sean. Amaya menolehkan kepalanya ke sisi kanannya, melihat Sean yang tidak tertarik sedikitpun untuk sekedar mencaritahu siapa sosok yang berani mendekatinya.

"Lo udah makan?"

Satu pertanyaan sederhana diantara banyak sekali pertanyaan yang bisa Amaya ajukan akhirnya tersampaikan juga pada Sean. Tadi saat Amaya izin pada Dean untuk menemui Sean dengan alasan cucian gelas yang menumpuk, Dean meminta Amaya mengingatkan Sean soal makan, sebab sebelumnya Sean mengabaikan jam makannya demi membantu urusan kafe.

Namun melihat Sean yang sedang dalam keadaan segalau ini agaknya mustahil bagi Sean untuk kembali mengingat soal perutnya. Jadi seharusnya tanpa bertanya pun Amaya sudah tahu jawabannya apa.

"Lo mau ngetawain gue kan? Ya ketawa aja sih. Nggak usah sok care" ujar Sean dengan nada suara datarnya, tanpa melirik sedikitpun ke arah Amaya. Menurutnya pertanyaan Amaya hanya sebatas basa-basi semata. Ia yakin sebetulnya Amaya ingin menertawakan dirinya yang seolah mendapatkan karma atas segala kebohongan yang ia lakukan. Sial beribu sial karena kejadian itu terjadi tepat di depan Amaya sampai akhirnya Amaya mengetahui semuanya.

Amaya menghela napasnya panjang, "siapa juga sih yang mau ketawa. Lo pikir lo lagi ngelawak apa sampe gue harus ketawain lo?!" ucap Amaya dengan nada suara yang terdengar menggerutu.

Amaya kembali menggulirkan bola matanya ke kanan dan melihat Sean yang hanya terdiam di sana dengan raut wajah datarnya, pokoknya ia terlihat  tidak seceria biasanya atau tampak seangkuh biasanya. Duh, Sean kenapa kalau diam begitu jadi terlihat dingin sekali sih. Dia seolah memiliki kepribadian lain yang sangat berbeda dari kepribadian yang Amaya kenal selama ini.

Attakai CaféWhere stories live. Discover now