23. Misi Sean : 'membentuk aliansi'

46 11 3
                                    

Amaya menikmati semilir angin malam dengan ditemani oleh Sean. Sean yang notabenenya sudah bisa menyetir dengan stabil motor keramat Galih ini, sehingga Amaya pun tidak perlu sepanik sebelumnya.

Karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, alhasil jalanan tidak sepadat biasanya. Jalanan lebih longgar dan Amaya bisa mendengar jelas suara deru mesin motor Galih ini yang tidak seberisik motor sport pada umumnya.

Pokoknya suasana didetik ini benar-benar senyaman itu untuk Amaya. Sampai-sampai Amaya harus terserang kantuk berat. Bahkan beberapa kali ia hampir terlelap dan tanpa sadar kepalanya jatuh ke punggung Sean. Meskipun setelah dia kembali tersadar dia langsung menegakkan posisinya dan menggelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha membuat kantuknya hilang.

Amaya refleks menoleh ke arah Sean yang tiba-tiba saja menghentikan motornya di depan sebuah gerobak yang mangkal di tepi jalan, bersama beberapa gerobak lainnya yang menjual nasi goreng, dan ada juga yang menjual pecel lele.

Sean menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah Amaya yang dia sadari sejak tadi berusaha menahan kantuknya. Makannya dia pun berinisiatif berhenti di sini.

"Mau itu nggak?" Katanya sembari menunjuk ke arah gerobak yang paling dekat dengannya.

Amaya mengikuti arah tunjuk Sean yang mengarah pada gerobak angkringan. Di dekat gerobak tersebut pun digelar tikar yang umumnya digunakan untuk para pelanggan.

"Angkringan tuh jualan apa Sen?"

"Jih!" Sean berdecih sinis. Jujur dia agak kecewa karena ternyata Amaya tidak tahu apa saja yang dijual di angkringan. Padahal ini adalah tempat favoritnya anak muda dan bapak-bapak ketika di malam hari. Jelas saja lebih receh ketimbang di kafe, AC-nya pun menggunakan angin malam. Tapi tidak kalah nyamannya kok dengan kafe.

"Turun turun, gue jajanin dah" katanya meminta Amaya turun. Bahkan memaksanya.

Amaya pun langsung turun dari motor tersebut lalu merapikan rambutnya yang agak berantakan. Manik matanya sibuk melihat Sean yang sedang memarkirkan dengan rapi motor keramat Galih. Sebisa mungkin posisi motor tersebut aman sentosa, dan minim kemungkinan akan ditabrak kendaraan lain. Bisa mengamuk Galih kalau motornya ini lecet barang sedikit saja.

Selesai dengan urusan motor, Sean pun langsung mengajak Amaya duduk di atas tikar yang belum diisi oleh pengunjung lain. Agar enak mojoknya---eh Sean tidak seperti itu saudara-saudara, maksudnya agar luas saja tempat mereka untuk duduk. Tolong jangan meniru hal-hal negatif seperti itu ya.

Sean memesankan dua gelas susu jahe hangat pada penjual tersebut dan tempe mendoan yang baru digoreng. Urusan nyambung atau tidak dengan minuman yang mereka pesan sih urusan belakangan. Yang penting kenyang saja dulu.

Setelah itu Sean duduk di sisi Amaya sembari membawa sepiring tempe mendoan itu. "Nih makan Ay" katanya pada Amaya.

Amaya mengangguk sekilas, namun ia lebih memilih untuk sibuk kembali menatap ke sekeliling, melihat suasana di sekitar tempat ini yang sedikit berisik dengan suara lalu lalang kendaraan namun terasa sehangat itu. Meskipun tempat ini sederhana, tapi Amaya merasa begitu nyaman ada di sini. Dia juga tidak perlu takut terjadi sesuatu padanya karena ada Sean di sampingnya. Ya, Sean pasti akan menjaganya kan?

Amaya menoleh ke arah Sean yang mengambil tempe yang masih mengepulkan asap tipis-tipis itu dari piring, kemudian menggigitnya.

Sadar diperhatikan oleh Amaya, Sean refleks melirik Amaya, "Ap--eh! Huh hah huh hah panas euy" pekik Sean, refleks menjatuhkan tempe tersebut ke atas tikar. Lalu Tanpa berpikir dua kali, dia langsung mengambil tempe tersebut dan meniupnya sekilas sebelum memakannya sembari menahan panas.

Attakai CaféWhere stories live. Discover now