19. Sugar for coffee

53 13 2
                                    

Dean keluar dari kamar mandi dengan badan yang jauh lebih segar. Pakaian berupa celana training dan kaos abu-abu sebagai atasan membalut tubuhnya. Sembari mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk yang ia usak-usak ke kepalanya, ia melirik ke arah Sean yang berbaring di atas sofa sembari memainkan ponselnya.

Dean menyempatkan diri untuk menjemur handuk di rak jemuran handuk yang terletak di sisi kamar mandi kemudian ia melangkahkan kakinya sampai ke meja belajar Sean. Ia menyeret kursi di belakang meja tersebut sampai ke sisi sofa yang Sean duduki, lalu ia mendudukkan dirinya di sana, menghadap tepat ke arah Sean.

Sean yang menyadari keberadaan Kakaknya refleks menggulirkan bola matanya ke arah Dean. Ia pun menatap pria berusia tiga puluh tahun itu dengan tatapan bingungnya. Habisnya Dean sengaja terduduk di sana sembari menatap lurus dirinya, seperti ada sesuatu yang ingin Dean bicarakan dengannya.

"Ngapain Mas?" Tanyanya, sok polos.

Dean pun menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sementara kedua tangannya diletakkan secara bertumpuk di depan dadanya, baru kemudian dia menjawab pertanyaan Sean. "Kenapa tadi sore?"

Sean sempat tersentak saat mendengar pertanyaan to the point dari Dean, pertanda bahwa sebetulnya Dean pun merasa curiga dengan perubahan mood-nya tadi sore. Memang sih sebelumnya Amaya memberikan satu alibi soal sikap Sean yang agak berbeda dari biasanya. Namun sebagai seorang Kakak yang mengenal baik Sean, Dean tahu kalau apa yang Amaya katakan tidak sepenuhnya benar. Ada sesuatu yang terjadi pada Sean yang membuatnya bertingkah berbeda sore tadi. Dan tentu saja sebagai seorang kakak sekaligus keluarga satu-satunya yang Sean miliki, ia merasa khawatir pada Sean. Takutnya ada sesuatu yang terjadi di sekolah atau ada apa.

Sean pun langsung menggelengkan kepalanya dengan tegas, "nggak papa. Capek aja Sean" jawab Sean, memilih untuk berusaha menutupi yang sebenarnya dari Dean. Bukannya apa-apa, Sean tidak berani saja menceritakan yang sebenarnya pada Dean hingga Dean tahu soal kebiasaannya selama di sekolah yang lebih mengutamakan gengsinya, pun merasa malu dengan kenyataan bahwa dirinya bagian dari kafe ini. Meskipun kemungkinan besar Dean akan menanggapinya dengan tenang dan hanya memberikan hadiah berupa nasihat, tapi Sean rasa apa yang ia lakukan tersebut bisa menyakiti hati Dean yang notabenenya membangun kafe ini pun demi Sean.

Dean mengerutkan keningnya dalam-dalam, merasa ragu dengan jawaban Sean. "Kalau capek biasanya nggak gitu"

Dan Sean pun tidak bisa menyanggah lagi selain hanya diam. Otaknya terlalu beku sekarang. Dia juga tidak bisa menyiapkan kebohongan lainnya. Kakaknya ini kelewat peka dan sangat mengenal dirinya. Sean rasa apapun sanggahannya sekarang akan terasa janggal dimata Kakaknya.

Dean menghela napasnya panjang melihat Sean total terdiam. Itu pun sudah menjawab semuanya. Bahwa memang ada yang tidak beres pada Sean. Baiklah, mungkin Sean belum mau cerita. Dean juga tidak bisa memaksa. Takutnya Sean malah tertekan.

"Sen, kamu kan cuma punya Mas, jadi kalau ada apa-apa ya nggak papa cerita aja sama Mas. Mas ini bisa kok jadi kakak kamu, orangtuanya kamu atau temen kamu. Mas bisa jadi apa aja yang kamu butuhin. Yang penting kamu jangan merasa sendirian ya" selepas mengatakan hal tersebut, Dean langsung melemparkan senyuman tipisnya. Kemudian ia bangkit dari posisinya, berniat untuk keluar dari kamar dan membiarkan Sean sendiri.

Sean menoleh ke arah Dean, "Mas" panggil Sean sembari bangkit dari posisi berbaringnya.

Dean menoleh ke arah Sean dengan tatapan  penuh tanda tanya. Menyadari ada yang ingin Sean bicarakan, Dean pun kembali mendudukkan dirinya di atas kursinya.

Sean menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa lalu menekuk kedua kakinya yang dibalut oleh celana piyamanya. Dia terdiam selama beberapa saat, membiarkan hening meliputi mereka. Sementara Dean dengan sabar menunggu Sean membuka suara.

Attakai CaféWhere stories live. Discover now