Sepuluh

108 12 1
                                    

***

Mahen dan Dika duduk di teras rumah Dika. Setelah makan malam bersama, Dika kira pemuda itu akan pergi namun ternyata tidak. Katanya masih ada yang mau dibirakan olehnya. Keduanya Duduk melantai disana, dengan keadaan sama-sama tak bicara. Disana amatlah hening.

Angin malam menerpa kulit Dika yang hanya memakai kaos pendek, membuat pemuda itu mengusap lengannya yang terasa dingin. Mahen menatap Dika, dan peka kepada keadaannya. Ia melepas jaket miliknya lalu memakaikannya kepada pemuda itu.

“Nggak usah Mahen, gw nggak papa.” Tolak Dika.

Mahen tak menerima tolakan itu, ia tetap menyelimuti Dika menggunakan jaketnya,”Pake aja, lagian gw nggak dingin.” Ucapnya kekeh.

Dika hanya pasrah, menolak pun pasti tak akan membuat Mahen melepas jaket itu. Namun setelah angin kembali berhembus terlihat pemuda di sampingnya itu sedikit bergidik. Dika hanya tersenyum tipis.

“Katanya nggak dingin.” Ujarnya sengaja menyindir Mahen.

“Kok, lo suka duduk disini?” Tanya Dika yang keluar dari topic pembicaraan mereka.

Dika menghela nafas pelan,”Sebenarnya gw nggak suka disini. Tapi karena ada lo makanya gw ajakin kesini.”

Mahen mengerutkan keningnya,”Hubungannya?”

“Supaya lo kapok kerumah gw.” Ujar Dika dengan menyengir lebar.

“Gw malah bakal semakin suka.”

“Kenapa?” Tanya Dika penasaran.

Mahen diam sejenak. Senyum tipis dia lukiskan diwajahnya lantas menatap langit malam yang gelap gulita dengan kabut malam yang menyelimutinya. Samar- samar terlihat bulan disana, walau tak begitu jelas. Mungkin factor polusi Jakarta. Namun Mahen tetap melihat cahaya benda itu diatas.

“Gw suka liat bulan. Kalau di rumah gw, nggak ada yang nemenin nikmatin cahayanya. Tapi kalau disini lo ada nemenin gw.”

Mahen menoleh menatap Dika. Tak mau berlama-lama melihat tatapan itu Dika mengalihkan pandangannya kearah langit, yang kata Mahen terdapat bulan yang indah disana yang indah selalu ditatap.

“Sulit liat bulan. Mending liat di internet.”

Terdengar suara kekehan dari Mahen disampingnya, namun Dika enggan menoleh. Rasanya tatapan itu selalu menjadi kelemahannya. Tidak tau kenapa, dan sejak kapan kedua netra pemuda itu bisa secara langsung menghipnotisnya.

“Nggak sama,Dik. Itu sama aja kalau kita LDR ama pasangan kita. Pasti rasanya beda walau kita masih bisa liat dia melalui Hp.”

Dika tergelak,”Teori lo ternyata konyol semua.”

“Itu bukan teori, Dik. Itu kenyataan. Kadang kita nggak bakal sadar kalau ada hal yang ternyata selama ini tidak kita sadari kalau itu bukan sekedar Teori.”

Dika sama sekali tak paham. Apapun yang dikatakan Mahen serasa hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Entah kenapa duduk berdua dengan Mahen sungguh nyaman. Bulan di langit yang tertutup awan perlahan terlihat walau tak begitu jelas.

“Bulan itu indah lo, Dik. Dan gw bercita-cita jadi bulan, yang bisa disukai banyak orang.”

Dika menoleh menatap pemuda itu. Wajahnya terlihat begitu serius dengan aktivitasnya. Ternyata banyak sisi yang belum diketahui Dika didalam diri Mahen. Yang entah kenapa ingin dia gali lebih dalam lagi. Konon katanya hal itu termasuk dalam kategori mulai tertarik. Yang artinya sebentar lagi akan cinta.

Dika menggeleng cepat. Mana mungkin hal itu bisa terjadi. Dirinya masih waras. Mungkin dia harus mencari hal-hal yang membuatnya mengetahui apa itu cinta agar hatinya tak selalu bingung dengan apa yang dia rasakan.

Partner Of Love [Markhyuck]Where stories live. Discover now