Sebuah Kenyataan Pahit

43 14 111
                                    

"Dokter, bagaimana keadaan papa saya...?"tanya William mewakili seribu tanya di benak keluarganya yang berdiri dengan wajah penuh kekhawatiran di hadapan dokter, kecuali Handoko duduk di kursi ditemani istrinya.

"Operasi berjalan lancar tapi pasien belum bisa dikunjungi saat ini karena akan dipindahkan ke ruang pemulihan, masih dalam pengaruh obat anestesi. Yang penting mental pasien dijaga yah! Dukungan keluarga itu penting bagi pasien."jelas dokter bedah, tersenyum tipis.

"Ya, dokter, terima kasih... " William membalas dengan senyuman juga.

Dokter bedah mengangguk lalu pamit berlalu dari situ.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Nety?"tanya Mirna setelah dokter itu pergi.

"Aku juga ga tau pasti, Mi. Mas Erwin harusnya jemput Jessica, tapi aku dapat kabar Mas Erwin kecelakaan.. .. "Jelas Nety dengan wajah sedih.

"Mama dikasih tahu sama siapa..?"tanya Jessica.

"Sara.. "Pelan suara Nety.

Semua yang mendengar terpana. Saling berpandangan.

"Siapa Sara, Ma?"tanya William mengernyitkan dahi. Hanya dia yang tidak mengenal wanita itu.

"Sudah! Tak usah bahas wanita itu lagi." tukas Mirna tegas.

"Yang harus kita pikirkan papamu itu, William."lanjutnya.

William mengiyakan. Memang harusnya papanya yang menjadi prioritas sekarang. Tapi anak muda ini masih menyimpan penasaran di hati, mengapa sang Oma terlihat kesal dengan wanita bernama Sara. Siapa dia sebenarnya?

"Moga papa bisa menerima dengan lapang dada.. "Gumam William.

"Menerima apa, Kak?"tanya Jessica bingung.

"Operasinya itu.. Amputasi kaki." William melipat bibirnya.

"Amputasi kaki??!" Sontak kaget Jessica begitu juga dengan Mirna dan Handoko.

Orang tua Erwin sampai lemas. Bahunya luruh.

"Ya ampun.. Kenapa bisa begini, Win?" Sesal Mirna meneteskan air mata.

Handoko hanya bisa mengurut dada, terlalu banyak kejutan hari ini.

Sesaat mereka terdiam. Hening. Entah apa yang dipikirkan tapi raut wajah terlihat sama, bergelayut kesedihan.

Handoko yang kecewa dengan kelakuan perselingkuhan Erwin sekaligus juga merasakan kesedihan yang mendalam atas musibah yang menimpa anak tunggalnya ini.

Erwin sudah menuai dari apa yang ditaburnya?

Handoko mengusap wajahnya. Tak ingin dia menjustifikasi sang anak. Semuanya sudah terjadi. Yang dipikirkannya itu ke depannya. Erwin yang gagah, bisakah menerima kenyataan ini? Kehilangan satu kaki, dari pangkal lutut, apakah tidak membuatnya shock?

***

Flashback on.

"Ya, Tuhan, Airiiin!" Teriak Erwin sambil membanting stir ke kanan karena kurang sedikit lagi anak kecil itu akan tertabrak mobilnya. Ponsel yang ada digemgamannya terpelanting. Dia yang tadinya sempat berbicara dengan Sara via ponsel terputus setelah teriakan histerisnya merasakan goncangan mobil itu begitu keras saat dari arah belakang, sebuah mobil bus mini berjarak dekat dengan mobilnya tidak sempat mengerem, sang sopir juga kaget dengan manuver Erwin yang mendadak. Tak bisa mengelak lagi sopir itu menabrak badan mobil Erwin sehingga kendaraan roda empat itu menabrak pembatas jalan dan terbalik dua kali.

"Aaaargh.." Jeritnya kesakitan merasakan lutut kakinya terbentur sangat keras.

Erwin hanya bisa pasrah saat mobilnya terbalik. Sebelum dia hilang kesadaran pria itu seperti sedang kembali kepada masa 25 tahun yang lalu. Di hadapannya berdiri Nety dengan gaun pengantin putih gading, terlihat begitu anggun. Jantung pria itu berdebar saat membuka slayer penutup wajah Nety dan tampaklah senyum bahagia menghias wajah cantik wanita itu. Sangat cantik. Mata Erwin berbinar mengagumi kecantikan wanita yang baru sah menjadi miliknya, kepalanya perlahan condong ke depan, mendekat untuk memberikan ciuman pertama pada bibir wanita yang dicintainya ini tapi bayangan itu semakin mangabur dan mengabur sampai akhirnya dia tenggelam dalam kegelapan.

Di Ujung Senja Bersamamu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang