Dentuman Rasa

40 14 83
                                    

Pagi itu, di tempat cafe Rooftop milik Ella, Nety sedang memeriksa nota -nota pembelian. Satu bulan kerja paruh waktu di situ membuatnya lebih semangat jalani hidup. Persoalan rumah tangganya dibiarkan mengalir begitu saja. Terlalu dipikir hanya membuatnya tambah stress, tak baik buat pengidap hiperteroid seperti dirinya kan? Maka dia membiarkan suaminya, Erwin melakukan apa yang menurut pria itu baik sehubungan dengan Sara.

Keseriusan Erwin mengurai benang kusut dalam rumah tangga mereka diapresiasi baik oleh Nety, pada mulanya. Tapi seperti sudah menjadi kebiasaan selalu ada insiden-insiden yang mengaduk-aduk hati wanita ini.

Seperti kemarin Nety menemukan kertas print out hasil USG, dan catatan kecil di balik kertas itu yang membuat hatinya seperti dipalu, sakit dan nyeri. Istri mana yang akan suka rela menerima kehamilan selingkuhan sang suami? Memikirkan janin yang bertumbuh di rahim pelakor itu? Janin hasil penyatuan suaminya dan Sara? Shit! Betapa sulit melupakan pengkhianatan itu! Tapi dia sudah tidak mau lagi menangis, hati yang selalu disakiti itu mulai mengeras.

Nety tidak tahu sampai kapan harus bertahan dengan kondisi ini?

Kemudian terbersit tanya dalam hati:
Mengapa Erwin tidak memilih Sara menjadi istri keduanya, bukankah wanita itu sudah sebatang kara? Mengapa Erwin mati-matian mempertahankan pernikahan mereka yang sudah di ujung tanduk ini?

Jika ditanya, Erwin akan menjawab lantang; " Aku masih cinta kamu, Nety. Aku akan memperbaiki kekacauan ini. "

Cinta? Selama masih ada Sara diantara mereka, bisakah cinta bertahan?

Lalu sampailah Nety pada pikiran yang boleh dibilang jahat? Andaikan Sara tidak ada, pergi jauh entah kemana bahkan ke dunia akhirat, adakah damai kembali pada biduk pernikahannya?.
Atau jika Erwin yang pergi, apakah hatinya yang terluka akan sembuh?

Nety menghela napas panjang, berhenti sebentar mengecek nota-nota, memijit kepalanya yang berdenyut dengan kedua jari telunjuk. Sakit kepala memikirkan kisruh rumah tangganya.

Tanpa disengaja matanya terpaku pada kalender duduk di atas meja kerjanya, ada tanggal yang dilingkari. Tanggal ulang tahun pernikahan dia dan suaminya, Erwin.

Nety menghirup udara pelan, mata bulat itu terpejam.

Memori membawanya kembali pada 25 tahun yang lalu.

Netycia berdiri di depan altar memakai baju pengantin putih gading bersanding dengan pria berstelan jas senada yang sebentar lagi akan sah menjadi suaminya.

Mereka mengucap janji:

"Dalam kekurangan dan kelimpahan, pada waktu sakit dan sehat, dalam suka dan duka, saling mengasihi dan saling menghargai sampai maut memisahkan.... "

Setelah 25 tahun kemudian?

Bisakah janji itu dtepati semudah mengucapkannya?

Bukankah janji suci itu gampang diikrarkan pada saat perasaan bahagia membuncah di dada?

Erwin dengan pengkhianatannya sedangkan dirinya? Apakah disebut pengkhianatan bila dia berharap lebih pada seorang pria yang bisa memberikan apa yang tak dapat diberikan sang suami? Mendamba kehangatan pada pria tersebut? Dentuman rasa yang kian bertalu? Apa bedanya dia dengan Erwin? Terletak pada aksi saja bukan ? Karena wanita ini pintar menyimpan desiran hatinya, tak terbersit membalas pengkhianatan dengan pengkhianatan? Atau belum?

Pada sang suami, masih adakah cinta? Nety akui rasa itu masih ada, hanya saja sudah tercemar rasa lain bernama kekecewaan.

Drrrt

Ponselnya di atas meja bergetar.

Nety meraih benda persegi empat itu dengan wallpaper foto keluarga intinya.

Di Ujung Senja Bersamamu जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें