Pilihan

85 39 29
                                    

Jika aku bisa meminta waktu membawaku kembali kepada masa di mana kenangan buruk itu berada, aku tak akan membiarkan hatiku membeku oleh karena kemarahan dan kepahitan sebab tak membawa hasil positif apapun untuk saat ini. Hanya rasa penyesalan yang tersisa.

Nety berdiri dengan seikat bunga krisan di tangannya, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Kemudian berlutut di sebelah pusara nisan bertuliskan nama Johan. Tiga hari yang lalu papanya dikebumikan di sini. Wanita berbaju dan berkaca mata hitam itu meletakkan bunga itu di sisi pusara. Tetesan air di sudut matanya diusapnya perlahan, dia lalu memejam matanya dan bergumam sambil memegang nisan itu, "Pa, istirahatlah dengan tenang. Aku akan kembali ke Jakarta besok. Kenangan baik bersama papa yang akan kuingat selalu."

Tujuh hari dia merawat papanya di rumah Nico, adiknya sebab Johan tak mau lagi inap di rumah sakit. Dia ingin berkumpul bersama anak mantu dan cucunya di hari-hari terakhirnya.

Hari-hari yang tersisa itu dimanfaatkan dengan baik oleh Nety untuk merawat papanya yang sakit kanker paru-paru stadium akhir ini dengan kasih sayang. Walau Nety disebut sebagai anak yang melantarkan papanya tapi kenyataannya dia mendukung finansial kehidupan Johan sebelum Nico sukses menjadi pengusaha kebun sawit. Biarpun sedikit terlambat namun dia ingin memberi yang terbaik dari apa yang dia bisa. Nety memang punya alasan untuk menjauh dari papanya tapi kini dia tak mau lagi mempertahankan alasan yang dipegang teguh dulu. Wanita dengan mata indah nanum tajam itu akhirnya tahu menyimpan kemarahan dan kepahitan terhadap papanya tidak akan pernah memberi damai di hatinya, hanya mimpi buruk yang dia dapat.

Nety berdiri kembali, berdiam diri sejenak memandang tanah merah tempat peristirahatan terakhir papanya.

"Papa kecewa sama mamamu. Mamamu tidak gadis lagi waktu papa nikahi. Sebelum menikah papa pernah pergoki mamamu bersama mantan pacarnya. Papa curiga mamamu berselingkuh. Dan saat mamamu hamil kamu, papa selalu berpikir kamu bukan anak papa. Mamamu bersikukuh kamu anak papa. Bahkan menantang test DNA. Papa tidak mau melakukannya tapi tidak dengan mamamu, dia diam-diam test DNA dan menyimpan hasilnya. Papa tahu saat kamu sudah pergi merantau. Maafkan papa, Nety. Papa telah melampiaskan kekecewaan padamu. Papa telah meragukan anak kandung papa sendiri," Kata Johan dengan suara yang lemah.

Nety hanya diam tidak bersuara tapi tangannya terus menyeka badan papanya yang kurus kering. Walau hatinya pedih mendengar alasan Johan membencinya tapi senyumnya tetap mengukir wajahnya.

"Nety, maafkan papa yah..?" Lirih suara Johan.

"Pa, aku sudah maafkan papa. Papa jangan banyak pikiran yah, semua sudah berlalu. " Nety berkata sambil mengusap punggung telapak tangan Johan.

Dengan tangan yang gemetar Johan mengelus pipi Nety. Sambil berkata, "Maafkan papa tidak pernah memelukmu."

"Pa, biarkanlah semua berlalu.. Yang penting kini papa jangan sedih terus. Aku sudah nerima semuanya dengan ikhlas."Senyum Nety tulus.

Nety melirik tangan yang menepuk pundaknya dengan lembut dengan sudut matanya. Sosok yang berdiri di sampingnya, tubuh tegap itu yang sangat dikenal dengan baik, didiamkannya. Nety tidak merespon dengan perlakuan manis itu bahkan saat tangan itu menariknya ke dalam pelukan.

"Net, kalau kamu bisa memaafkan papamu, berilah maafmu padaku juga,"bisik suara itu dekat telinganya.

Demi mendengar perkataan lembut tapi bagi Nety seperti sindiran itu, wanita yang masih cantik dengan usia yang tak muda melepas kaca mata hitam nya lalu menatap tajam manik mata Erwin.

"Kalau tujuanmu ke sini untuk memudahkanku memaafkanmu, kamu perlu usaha lebih keras mas,"balas Nety dingin.

Erwin terdiam. Dia hanya bisa menghela napas panjang. Dia sangat sadar tak mudah melunakkan hati Nety.

Di Ujung Senja Bersamamu Where stories live. Discover now