9. Untuk Bahagianya

593 35 9
                                    


Bersama atau tidak, bahagiamu sudah cukup. 

.

.

.

Kemarin Alan sudah bertemu dengan Lisa dan keluarganya. Membahas perihal rasa yang tidak bisa dipaksa. Ada banyak hal yang ia dapat kemarin. Ternyata, orang-orang yang terlibat dengannya tidak seburuk itu. Mereka juga sama-sama berada dalam lingkup terpaksa. Hari ini Alan sudah merasa lega, karena dirinya sudah bebas dari tekanan, dari paksaan yang menyiksa dan melukai orang lain.

"Alan, kamu disini?" Lisa memasuki lapangan indoor itu dan menghampiri Alan yang sedang duduk dikursi.

"Iya."

"Aku gapapa ada disini?" Alan mengangguk, membiarkan Lisa duduk didekatnya.

"Alan, semua udah jelas kan kemarin. Maafin aku Alan. Ternyata lebih baik begini. Ikhlas selalu menjadi jalan terbaik. Andai dari awal kamu ga nerima ajakan Mama pasti kamu ga akan tertekan Alan. Pasti kamu bisa dapatin orang yang kamu suka sekarang. Aku memang suka sama kamu, tapi aku tipikal orang yang ga akan maksa siapapun untuk turuti kemauan aku. Aku punya penyakit makanya Mama ingin aku bahagia. Tapi cara yang dia lakukan itu salah. Aku senang bisa sama kamu, tapi aku ga suka karena ternyata itu bukan dari dalam hati kamu. Bukan kamu yang salah, tapi aku yang terlalu berekspektasi tinggi." Jelas perempuan itu, wajahnya terlihat pucat, yang Alan dengar kemarin kondisi perempuan itu sedang menurun.

"Gue minta maaf. Lo bisa dapatin orang yang tulus sama lo, Lisa. Lo bisa dapat seseorang yang sayang dan nerima lo apa adanya. Lo perempuan baik. Tapi gue ga bisa berada di posisi itu terus menerus."

"Aku ngerti Alan."

"Alan makasih," jeda perempuan itu sejenak, "Aku sayang kamu."

"Iya, gue juga." Alan menyunggingkan senyumnya. Perempuan didepannya baik, tapi ia tidak bisa menjalaninya lagi. Perempuan didepannya juga tulus padanya, namun semuanya tidak akan ada artinya jika mereka bersama tetapi dengan perbedaan rasa yang jauh. Akan sangat menyakitkan jika hanya satu orang saja yang punya rasa. Dan menjalani apa yang bukan maunya kita akan membuat kita merasa tertekan dan tidak nyaman. Dan tanpa mereka sadari, ada seseorang melihat interaksi dan percakapan mereka. Seseorang yang melihat keduanya itu langsung pergi dari sana, tidak ingin melihatnya lebih jauh lagi.

Alan mengulurkan tangannya, mengusap rambut perempuan itu. Ia berbisik pelan. "Makasih dan maaf, jaga kesehatan lo." Lanjut Alan, Lisa mengangguk dengan senyum, lega rasanya mengutarakan apa yang ada dalam hatinya. Meskipun tidak berakhir indah, tapi ia bersyukur akan hal itu. Selepas hari ini ia akan terus belajar mengikhlaskan, akan belajar menerima setiap cerita dalam hidupnya.

"Aku ke kelas duluan, Alan." Alan mengangguk, membiarkan perempuan itu keluar dari lapangan indoor. Dan selesai, sekarang Alan akan mewujudkan impiannya, mewujudkan harapan-harapan nya sendiri.

"JANGAN BERDUAAN WOI." Raga tiba-tiba datang mendorong pintu dengan cukup keras. Laki-laki itu menatap ruang sekitarnya, kosong, tidak ada perempuan itu disana. Alan menatapnya datar, ada apa dengan laki-laki itu. 

"Ngapain lo, cowo kok berisiknya kek cewe."

Raga menutup pintu dengan pelan, ia menghampiri Alan. "Ga nyadar Mas? Lo tuh sebenarnya cerewet banget, cuma ketutup aja tuh sama muka sok datar lo. Kaya keren aja." Katanya dengan ekspresi meremehkan.

"Gue emang keren kalau lo ga tau. Gue kapten futsal." Alan menyeringai menatap raut wajah Raga yang mendelik kearahnya.

"Sombong. Ciri-ciri manusia suka pamer." Cibir Raga.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 07 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ALAN ARDIANSYAH ; Semesta di 2018Where stories live. Discover now