10. Pagi yang Buruk

37 2 52
                                    

Hati yang terluka itu ibarat cemin yang telah pecah. Lebih baik membiarkannya rusak, daripada melukai diri sendiri saat mencoba memperbaikinya.

-Number of Time-

Para penduduk kota mulai bergegas melangkah, tersibukkan oleh rutinitas masing-masing. Ada yang bergegas menuju kantor dengan tumpukan dokumen di tangan, ada yang menikmati secangkir kopi hangat di kedai favorit dan ada yang hanya berjalan-jalan menikmati keindahan pagi sambil menikmati sejuknya udara.

Begitu juga dengan cewek berpakaian putih abu-abu yang melirik gelisah arlojinya sendiri. Setiap detik terasa seperti sebuah luka yang memanjang saat ia menunggu angkot yang tak kunjung datang. Waktu menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Sedangkan bel sekolah akan berdentang dalam hitungan menit. Kecemasan merayap perlahan, memenuhi setiap serat dalam diri Aiko Masayu.

"Duh, lama banget, bisa terlambat kalau begini," keluh Aiko.

Namun, sebelum kegelisahan itu sempat menguasai pikiran, sebuah kejutan menyambutnya. Seseorang yang menggunakan motor berwarna hitam berhenti tepat di hadapannya.

Aiko mengernyitkan dahi. Ketika sosok itu menyingkap helm full face yang dikenakan, wajah Rizky tersingkap di depannya.

"Rizky?" desis Aiko keheranan.

Cowok itu turun dari motor besarnya sembari mengumbar senyum hangat. "Aiko, ayo berangkat bareng," ajak Rizky.

Aiko merasa ragu. Sebelum benar-benar menjawab, Rizky tetap menampilkan senyum ramah. "Kalau nggak mau nggak pa-pa, kok. Tapi, ini waktunya udah mepet. Lebih baik kita bareng, daripada nanti kamu terlambat."

Tawaran itu membuat Aiko tersenyum tipis. Meskipun tak yakin, tapi kebaikan hati Rizky terlihat tulus. "Baiklah, ayo. Terima kasih banyak, Rizky," sahutnya.

Mendengar jawaban dari Aiko membuat senyum Rizky semakin mengembang, seolah matahari yang bersinar lebih terang. Dengan gerakan penuh kelembutan, ia meraih satu helm lain yang sengaja dibawa dari rumah, menjadikannya sebagai alat perlindungan bagi Aiko di perjalanan.

"Sini, aku pakaikan," ujar Rizky.

Cowok tampan itu memakaikan helm pada kepala Aiko. Setiap sentuhan penuh perhatian, memastikan terpasang dengan pas dan aman digunakan.

Keadaan mendadak canggung karena cela di antara mereka kian menyempit. Aiko menatap wajah Rizky yang hanya berjarak beberapa sentimeter di hadapannya. Detik-detik terasa melambat, seperti permainan waktu yang berhenti sejenak untuk memberikan ruang bagi mereka.

Aiko dan Rizky saling bertatapan, suasana yang tadinya ramai akan kebisingan kota, kini menjadi hening di antara keduanya, hanya suara derap langkah dan detak jantung yang terdengar. Waktu seolah-olah membiarkan itu terjadi tanpa tergesa-gesa.

Apa-apaan ini? Gumam Aiko dalam hati saat tatapan mereka bertemu. Mengapa aku merasa seperti ada yang berubah di antara kami?

Rizky memundurkan langkah, lalu berucap, "Selesai. Ayo, berangkat!"

Aiko tidak bisa menahan senyumnya meskipun dalam hati ada kecanggungan yang sulit dijelaskan. "A-ayo," jawab cewek itu terbata.

Dengan perasaan campur aduk, Aiko naik ke belakang motor. Hanya keheningan yang menyelimuti dua remaja itu. Meskipun begitu, dalam hati Aiko merenung. Hati yang terlalu itu ibaratnya cermin yang telah pecah. Lebih baik membiarkannya rusak, daripada melukai diri sendiri saat mencoba memperbaikinya.

Number of TimeKde žijí příběhy. Začni objevovat