3. Keanehan

75 53 110
                                    

Bagaimanapun juga, kita nggak bisa mengelak takdir yang udah ditentukan oleh Tuhan. Ajal pasti akan tiba. Tinggal kitanya aja yang hidup di dunia, bisa mempersiapkan diri dengan baik agar ditempatkan di surga, atau melakukan banyak dosa dan berakhir tersiksa.

-Number of Time-

Banyaknya saran dari dokter hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Aiko bersikeras pada pendiriannya sendiri. Setelah perdebatan singkat, ia diperbolehkan pulang hari ini.

Dikarenakan masih belum pulih total, cewek berbulu mata lentik itu keluar ruangan dengan menaiki kursi roda yang didorong oleh Jin. Sepanjang lorong yang dilewati, hanya keheningan yang menyelimuti dua remaja itu. Di dalam hati, Aiko resah setengah mati. Pandangannya tak lepas mengamati tangan semua manusia yang tertera nomor di tangan mereka.

Hingga tibalah mereka di area depan rumah sakit untuk menunggu taksi.

Aiko mendongak, menatap langit yang mulai terlihat gelap. Semilir angin yang menerpa membuatnya mengusap lengan. Banyaknya kendaraan yang berlalu lalang tak mampu menghalau dinginnya angin malam. Namun, sebuah jaket hitam yang dibalutkan ke tubuhnya membuat Aiko terperangah. Ia memutar kepala ke belakang, menatap ke arah cowok yang hanya memasang wajar datar.

"Jin, ini jaketmu. Kenapa kamu pakaikan ke aku? Nanti kamu masuk angin. Anginnya kenceng, loh," lontar Aiko.

"Orang yang abis kecelakaan dilarang mencemaskan kulit tubuhku yang tebal."

"Bukan mencemaskanmu. Aku cuma mengkhawatirkan diriku yang akan jadi saksi pertama kematianmu yang beku karena kedinginan!" celetuk Aiko.

Jin memutar bola matanya malas. "Nggak usah lebay, deh." Ia semakin merekatkan jaketnya ke tubuh Aiko. Lalu, Jin memajukan wajahnya, setengah menunduk—menatap Aiko. Matanya menyala terang seperti kucing pada malam hari.

"Katakan di mana rumahmu. Aku akan mengantarmu sampai tujuan," ujarnya bernada mengancam.

Aiko sedikit bergidik ngeri. "Nggak perlu. Kamu cukup memesankanku taksi aja. Biar aku pulang sendiri."

"Dalam keadaan kayak gini mau pulang sendiri?" Jin membuang muka. "Dasar, cewek keras kepala," sambungnya.

Aiko menekuk wajah. Namun, perhatiannya teralih ketika melirik ke arah tangan Jin, tertera nomor 259.200 yang berjalan mundur. Sedangkan pada tangannya ada nomor 5256.000 yang tampak berhenti.

Ia memegang keningnya yang terasa pening. Tetapi, Aiko kembali mengedarkan pandangan ke lingkungan sekitar. Rupanya, ia masih melihat nomor-nomor di tangan orang lain juga.

"Aiko, kamu nggak pa-pa?"tanya Jin memecah keheningan.

Sang pemilik nama hanya mengangguk sebagai jawaban. Akan tetapi, sosok anak perempuan yang mengenakan baju pasien itu mendekat dari kejauhan.

Aiko mengernyitkan dahi. "Kamu siapa?" tanya Aiko dengan lembut.

"Rena nggak mau disuntik ...."

Aiko mendongak memberi kode ke arah Jin. Sedangkan yang dikode malah menggidikkan bahu sembari membuang muka. Aiko akan mengurus perlakuan Jin nanti.

"Kamu lagi sakit?"

Anak perempuan itu mengangguk. Memiliki tubuh yang mungil disertai rambut yang dikuncir dua menambah sisi keimutannya.

"Rena mau pulang. Rena nggak suka di sini ...."

Aiko berusaha menenangkannya. Ia menggenggam tangan anak tersebut dan tersenyum.

"Nama kamu Rena, ya? Rena ... kalau kamu lagi sakit, itu harus periksa biar cepet sembuh. Rena mau sembuh?"

"Mau. Tapi Rena takut ...." balasnya seraya menunduk.

Number of TimeWhere stories live. Discover now