9. Kekacauan Malam

31 5 87
                                    


Terkadang, meskipun sudah berusaha sebaik mungkin, tidak semua orang akan puas dengan apa yang kita lakukan. Namun, yang terpenting adalah tetap berusaha dan tidak menyerah dalam menghadapi cobaan dan kritikan dari orang lain, termasuk dari orang tua sendiri.

-Number of Time-

Cahaya redup menyelinap masuk ke dalam ruang tamu. Jin berdiri di ambang pintu—menatap pemandangan yang menyedihkan di hadapannya. Pecahan botol minuman keras tampak berserakan di lantai, beserta barang-barang yang tak tertata pada tempatnya.

Ruangan itu sunyi, hanya suara langkah kakinya yang memecah keheningan. Dengan wajah yang dipenuhi raut kelelahan, Jin mengelus pelipisnya menggunakan tangan kanan, mencoba menenangkan diri di tengah keruwetan yang tak kunjung reda.

"Seperti biasa," gumamnya pelan. Ia memajukan kaki perlahan, sangat berhati-hati untuk menghindari serpihan kaca yang ada.

Tiba-tiba, matanya terpaku pada sosok yang tergeletak di atas kasur kamar depan. Tanpa mendekat, Jin sudah mengetahui siapa itu. Ayahnya, dalam keadaan yang sama seperti malam sebelumnya.

"Terlalu banyak minum lagi, ya?" gumam Jin, suaranya penuh akan kekecewaan dan penyesalan.

Tak ingin membuang waktu terlalu lama, Jin bergegas menuju kamar sendiri. Setelah berganti pakaian, ia kembali ke ruang tamu sambil membawa sapu dan kantong plastik besar. Dengan gesit, cowok bermata teduh itu mulai membersihkan pecahan kaca dan merapikan barang-barang yang tak tertata. Setiap gerakan dilakukan secara cermat agar tidak meninggalkan satu pun sisa.

Setelah selesai, Jin merebahkan diri di sofa dengan napas yang terengah-engah. Pandangannya melayang ke langit ruang tamu yang bernuansa abu muda. Meskipun malam telah tiba, Jin tahu bahwa ia tidak akan bisa tidur tenang. Ia harus tetap waspada, siap menghadapi setiap kemungkinan yang muncul karena perilaku ayahnya.

Meskipun dianggap sebagai 'tukang tidur' oleh teman-temannya, Jin tidak peduli. Baginya, yang terpenting adalah menjaga keselamatan dan kesejahteraan orang tuanya, bahkan jika itu berarti harus berjaga setiap malam.

Pelan-pelan, Jin membuka mata. Ia mengubah posisi menjadi duduk. Tangannya meraih bingkai foto yang dari atas nakas. Ia memperhatikan setiap inci foto tersebut dan menciptakan rasa haru yang mendalam.

Pecahan-pecahan kaca yang tak bisa disatukan lagi dihapus secara lembut, sementara tangannya memegang erat foto yang masih utuh. Wajah orang tua dan anak laki-laki yang terpampang membawa secercah senyum tipis di bibir Jin, meskipun juga membawa rasa rindu yang tak terelakkan.

"Ma, kapan pulangnya?" bisik Jin penuh pengharapan, meskipun ia tahu bahwa suaranya hanya akan terdengar oleh angin malam yang mengalun lembut di luar jendela.

Foto itu adalah satu-satunya sisa fisik dari kenangan indah bersama sang mama. Jin merasa beruntung masih menyimpannya, sekaligus merasa sedih karena tidak dapat merasakan kehangatan itu lagi.

"Mama ... kapan kita bisa ketemu lagi?" gumam Jin dengan suara serak, matanya mulai berembun oleh buliran yang mengancam untuk menetes. "I miss you," lanjutnya pelan, membiarkan rasa rindu meluap.

"Jin ingat mama hari ini. Jin baru pulang dari rumah temen, namanya Aiko. Mamanya baik banget ke Jin, ma. Andai mama mau pulang, pasti Jin bakal senang banget. Mama nggak mau datang bertemu sama Jin, kah?" gumamnya lagi seolah-olah berbicara kepada sosok yang tak ada di hadapannya.

Ia menghela napas berat sembari menatap foto mamanya sekali lagi sebelum meletakkan kembali ke tempat semula. Jin merasakan kekuatan baru mengalir dalam diri sendiri, karena di balik rindu dan kesedihan, ada tekad yang tak tergoyahkan untuk menjalani hidup dan melindungi orang yang masih tersisa di sisinya.

Jin beranjak dari ruang tamu. Tetapi saat hendak menuju dapur, panggilan yang berasal dari balik punggung membuatnya membalikkan tubuh.

"Jin, buatkan mi instan, dua," ucap paruh baya berpenampilan acak-acakkan, dengan bau menyengat air keras yang tercium dari kejauhan.

Jin menatap datar ayahnya yang melemparkan tatapan tajam. "Bukannya ayah tadi pagi udah makan mi? Kurang-kurangin, deh. Jin buatkan telur sama sayur."

"NGGAK, AYAH MAUNYA MI. SEKARANG!"

Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kelelahan yang semakin menyusup ke dalam tubuh. Meskipun hatinya bergetar ingin menanggapi menggunakan kata-kata yang tajam, ia menahan dorongan tersebut agar tak dikeluarkan.

"Dua mi instan, ya?" ujarnya bersuara tenang meskipun hatinya bergejolak. Disertai langkah yang tergopoh-gopoh, Jin bergerak menuju dapur untuk memenuhi permintaan ayahnya.

Ia membatin. "Bertahanlah, Jin. Ini hanya sementara. Kamu bisa melalui ini." Meskipun merasa terbebani, namun ia tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya sebagai anak sebaik mungkin.

Beberapa menit kemudian, Jin menghampiri ayahnya yang terduduk di meja makan. Ia menghela napas panjang, melihat David-ayahnya-yang menelenggelamkan wajah di lipatan tangan.

"Ayah? Ini udah matang," lontar Jin.

David mengangkat kepala dan meraih semangkuk mi buatan putranya. Namun, ia melotot seketika saat sesuap mi masuk ke dalam mulut.

"KAMU KASIH KECAP TIGA SENDOK, YA? INI TERLALU MANIS," bentak David.

Sorot mata David semakin sinis. "Kamu memang nggak bisa melakukan apa-apa dengan benar. Hanya membuat masalah saja!"

Jin menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan diri dari ledakan emosi yang ingin meluap. "Maafkan Jin, Ayah. Jin membuat kesalahan, ayah. Jin bakal belajar dan mencoba lebih baik lagi."

David berdiri dari kursi. Tangannya menghempas mangkuk tersebut ke lantai, hingga menciptakan suara pecahan yang menggema.

"Kamu nggak pantas jadi anakku. Kamu nggak bisa memenuhi harapanku. Kamu lemah dan nggak berguna!" erang David.

Jin tetap diam, menahan rasa sakit yang tak bisa diungkapkan. Ia tahu usahanya mungkin tidak akan pernah dihargai oleh ayahnya. Terkadang, meskipun sudah berusaha sebaik mungkin, tidak semua orang akan puas dengan apa yang kita lakukan. Namun, yang terpenting adalah tetap berusaha dan tidak menyerah dalam menghadapi cobaan dan kritikan dari orang lain, termasuk dari orang tua sendiri.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Jin berjongkok dan mulai membersihkan pecahan mangkuk beserta mi yang berserakan. Tangannya sedikit gemetar, tetapi ia tetap berusaha fokus. Setiap serpihan yang diambil, terasa seperti membebaskan diri dari belenggu kekasaran ayahnya.

Setelah selesai membersihkan, Jin bangkit dan menatap David. Akan tetapi, kerah baju yang ia kenakan dengan cepat ditarik oleh pria berumur itu. Sangat jelas terlihat dari mata David, emosinya tengah membara.

Jin masih menatap lurus Sang ayah. Napasnya tercekat karena cengkeraman kuat dari David. Sebuah bogeman panas mendarat tepat di wajahnya. Pukulan demi pukulan yang ia dapatkan begitu menyakitkan. Hingga pada akhirnya, David menghempas tubuh putranya cukup kuat.

Jin terdiam sejenak, merasakan rasa sakit fisik dan emosional yang melanda dirinya. Tubuhnya terasa lemah dan dihiasi luka-luka akibat perlakuan kasar yang didapatkan.

Cowok itu melangkah ke arah pintu. Ia melihat ayahnya pergi tanpa sepatah kata pun. Hatinya terasa hancur, tapi Jin memilih untuk tetap tegar dan tidak menunjukkan kelemahan di depan orang lain.

Ia menatap langit yang mulai gelap, merenungkan segala peristiwa yang baru saja terjadi.

Diiringi langkah berat, Jin kembali ke dalam rumah. Ia menghapus air mata yang hampir jatuh. Jin sangat mengharapkan kehangatan dan cinta tulus, sesuatu yang mungkin tidak pernah ia temukan di rumahnya saat ini. Ia ingin merasakan kehadiran seseorang yang benar-benar peduli padanya, yang memberinya dukungan dan kekuatan untuk melalui segala cobaan.

Dalam keheningan malam, Jin duduk sendirian di kamar. Merenungkan apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidupnya. Apakah ia harus terus menerus berjuang demi menyelamatkan ayahnya dari keburukan? Ataukah ia harus memilih untuk pergi dan mencari kebahagiaan di tempat lain?

-Number of Time-

Salam hangat,
Hanna Shimi. Penulis amatir yang sayang kalian tanpa akhir.

Number of TimeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora