RaD Part 38 - 16.2 Badai Mami

4.2K 696 265
                                    


Question of the day: lebih suka kulineran apa belanja?

vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado.Thank you :)
🌟


Harsa hanya mengangkat bahunya sekali. "Sabtu ini kamu bisa datang jam berapa?"

"Kenapa Bapak berasumsi kalau saya free di hari Sabtu?"

"Memangnya kamu punya rencana?"

"Ya, enggak. Tapi kan bisa tanya dulu."

Harsa menyisir rambutnya dengan jemari ke arah belakang. Embusan napas berat yang keluar dari mulutnya menandakan dia tengah mencoba bersabar. "Bebek, Sabtu ini apa kamu bisa datang ke rumah saya?"

"Saya dibayar berapa?"

Harsa lagi-lagi mengambil kertas dan menuliskan angka di atasnya yang tidak mungkin aku tolak. "Ini untuk seharian di rumah saya. Cukup?"

"Ada tambahan lagi kalau pakai sentuh-sentuh kayak di Varenna," timpalku. "Ngapain seharian? Kan cuma makan malam saja datangnya."

"Aneh orang pacaran tapi nggak terbiasa sama rumah saya. Kamu seenggaknya tahu piring, sendok, dan lain-lain tempatnya di mana."

Benar juga. Apalagi dari pernikahan dulu ke sekarang sudah berjalan beberapa bulan. Setidaknya aku sudah pernah main ke rumah Harsa beberapa kali dan tahu peralatan makannya di mana. Bosku penuh perhitungan bahkan ketika mengakali maminya.

"Milo dinosaur saya di mana?"

"Sebentar lagi sampai. Jus alpukatnya buat kamu sekalian."

**

Siapa yang bangun pagi di hari Sabtu setelah bekerja sepanjang minggu? Tidak ada. Hanya Harsa yang melakukannya. Hanya bosku yang bangun pagi dan nangkring di kosanku di pukul tujuh pagi sudah mengenakan poloshirt dan jeans serta rambutnya tersisir rapi serta kacamata hitam yang berada di atas hidung mancungnya.

Aku? Masih menggunakan piama dan air liurku masih mengalir di atas bantal kepala dan membentuk pulau saat telepon berdering. "Saya di bawah."

Aku bergegas mandi dan memakai pakaian, lalu membawa baju ganti untuk makan malam dan peralatan makeup. Pagi ini aku tidak ingin memakainya, toh Harsa sudah pernah melihatku saat di Varenna tanpa pulasan di wajah. Mau aku bilang tidak peduli dengan dia yang menunggu lama, tapi tubuhku bergerak cepat untuk bersiap-siap. Jika itu permintaan Harsa, aku akan langsung panik dan bergegas. Mode sekretarisku tidak bisa dimatikan begitu saja.

"Bapak, yang bener aja. Seharian memang, tapi nggak dari pagi juga." Aku menggerutu sepanjang jalan sementara Harsa menyetir dengan santai di sebelahku yang bergelung seperti janin di kursi penumpang. Aku biasa bangun pukul sepuluh di akhir pekan untuk ganti rugi bangun pagiku selama hari kerja. "Saya ngantuk banget."

"Tidur aja, nanti saya bangunin waktu sampai."

Dan aku benar-benar terlelap sampai Harsa menggoyangkan bahuku. "Bebek, kalau mau tidur lagi bisa lanjut di atas, sekarang bangun dulu."

Suaranya menenangkan sampai aku hampir terbuai dan kembali tidur jika bukan karena telapaknya yang terus menggoyang bahuku.

"Iya." Memang itu yang aku katakan tapi aku tidak ingat bagaimana aku bisa terbangun di atas ranjang besar dengan seprei kuning dan duvet abu-abu serta headboard besar yang berwarna senada dengan duvetnya. Ada bantal-bantal dengan berbagai macam motif dan warna yang lebih berani di sisi ranjang yang kosong. Sisi tembok belakang ranjang dari kayu bermotif chevron sedangkan lainnya berwarna putih dengan floor to ceiling window di satu sisi yang memperlihatkan kemegahan ibu kota dengan bangunan perkantoran yang menjulang tinggi dan langit yang cerah. Dari isian lemarinya saja aku langsung tahu kalau ini kamar Harsa.

Rent a DateWhere stories live. Discover now