RaD Part 34 - 15.1 Perhatian Tpis-Tipis

4.1K 632 141
                                    


Question of the day: makan nasi padang pakai tangan apa pakai sendok?

vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado.
Thank you :)
🌟


Harus berada di kantor dalam keadaan jetlag bukan tipikal masuk kantor setelah liburan yang aku pikirkan. Baru juga aku berusaha membiasakan diri dengan perbedaan enam jam, tubuhku dipaksa lagi untuk kembali ke setingan awal. Tapi, mau bagaimana lagi, cutiku berakhir kemarin dan hari ini aku sudah tiba di kantor pukul tujuh dengan mata yang terpejam dan sisi wajah yang menempel di pemukaan meja kerjaku yang dingin.

Nasi uduk yang aku beli sebelum ke kantor tadi pun belum aku sentuh lantaran mataku memaksa untuk menutup.

Mataku terbuka kala ada ketukan di meja.

"Kopi pakai susu yang banyak?" tanyaku. Aku tidak perlu melihat siapa yang meletakkan tumbler berwarna emas dengan tulisan Milano. Aku melihat Harsa membelinya di bandara, tapi aku mengira dia membelikannya untuk oleh-oleh atau untuk koleksi.

Rongga dadaku membesar dengan emosi yang aku tidak ingin ada di sana saat tahu kalau itu untukku. Aku perlu menggigit bibir agar cengiran lebar tidak muncul.

"Susu pakai kopi," jawab Harsa yang membuatku tersenyum puas lalu menegakkan tubuh.

Aku meminum seteguk kopiku lalu mengekori Harsa yang sudah lebih dulu memasuki ruangannya. Di tangannya ada tumbler yang sama denganku tapi berwarna hitam di atas meja kerjanya. Dia tidak tampak kelelahan sepertiku. Wajahnya segar dengan rambut yang sudah disisir rapi nan klimis ke belakang.

"Bapak kalau beliin saya ini harusnya nggak usah diisi atau dipakai, jadi bisa saya jual." Aku sudah membuka aplikasi jual-beli dan mataku melotot melihat harganya. "Tumbler apaan sejutaan lebih?" pekikku ngeri dan menaruh tumbler itu ke atas pangkuan dengan sangat hati-hati.

"Saya tahu kamu bakalan gitu, makanya saya sengaja isi."

"Bisa jual second nggak, ya?" gumamku yang dihadiahi desisan hasil tarikan napas dari sela-sela bibir Harsa yang terbuka. "Bapak sudah lihat email? Saya sudah kirimin invois. Saya rela begadang buat menuntaskan invois biar Bapak bisa proses pembayaran. 1x24 jam maksimal, ada bunga per hari lima persen kalau kelewat."

"Kamu kayaknya lebih berbakat buka pinjol ketimbang jadi pacar sewaan."

"Enggak, ah. Dosa narik duit dari orang yang perlu. Kalau Bapak kan nggak perlu duit recehan, jadi saya siap menampung."

Bunyi tetikus Harsa dan suaraku yang menyeruput kopi mengisi ruangan yang tiba-tiba hening. Aku memanjangkan tubuh untuk melihat layar untuk menemukan dia tengah membuka email dariku. Aku menunggu dengan sabar untuk protes yang keluar dari Harsa, tapi dia hanya membuka ponsel dan mengutak-atiknya sebentar sebelum mengatakan, "Done."

Aku mengedipkan mataku tiga kali. Dengan gerakan tergesa, aku membuka aplikasi mobile banking untuk mengecek saldoku dan menemukan delapan angka nol yang baru saja masuk. Aku sampai harus mengucek mataku untuk meyakinkan diri kalau ini bukan ilusi atau Mataku tiba-tiba saja berbayang.

"Udah, Pak? Begitu doang? Fee tambahan saya lima puluh persen dari harga pokoknya, lho."

"Terus? Saya harus ngapain lagi?" Harsa menjentikkan jari. "Ah, terima kasih sudah bantu saya selama di sana."

Bahuku bertemu dengan punggung kursi. Rasanya ingin lumer dengan kemampuan Harsa yang mentransfer nominal besar bagiku tanpa pikir panjang. Aku tidak tahu harus senang atau justru miris dengan ketimpangan sosial ini. Tapi yang pasti perasaan yang mendominasi sekarang adalah penyesalan.

"Tahu begitu saya kasih seratus persen aja fee-nya. Kapan lagi kerja nggak sampai seminggu, tapi bisa dapet mobil." Aku sungguh mengira kalau fee tambahannya itu kelewat besar dan tidak masuk akal. Sengaja memberikan angka itu agar Harsa protes sebelum aku turunkan. Aku mengacak rambutku yang belum aku blow. Aku tidak peduli lagi, toh Harsa sudah melihat wajah dan rambutku saat bangun tidur. Aku melirik Harsa dengan tatapan penuh harap dan penuh arti yang langsung dia tepis dengan tegas.

"Enggak ada. Invois udah masuk dan saya udah bayar."

"Pelit, medit, koret."

Harsa mengabaikan ejekanku. "Kamu kalau ngantuk pulang saja istirahat nanti." Baru aku mau terharu atas pengertian Harsa, dia sudah menambahkan. "Nggak ada gunanya kamu kalau tidur di meja." Harsa memicingkan matanya, "Dahi kamu kenapa?"

Jariku otomatis memegang dahi kiri yang semalam sempat nyut-nyutan sedikit. Aku tahu itu akan biru. Karena kemarin terantuk jendela cukup kencang. "Kemarin taksi pulang dari bandara saya ditabrak dari samping pas di belokan deket kostan. Terus sayanya lagi nyender jendela jadi kepentok, deh."

Harsa mengerutkan alisnya, dia tampak sangat khawatir dan membuatku tersentuh. "Terus mobilnya nggak apa-apa?"

Aku yang salah karena tersentuh dengan hal yang aku bayangkan sendiri.

"Saya yang harusnya ditanyain, Pak. Saya makhluk hidup, lho. Kalau mobil bisa diperbaikin kalau rusak."

"Tapi kamu ada di sini, berarti nggak ada apa-apa. Lagian, siapa tahu otak kamu lebih lurus sedikit setelahnya." Hinaan Harsa tidak berhenti sampai di sana. "Kaca mobilnya pecah? Kepala kamu batu begitu."

Lagi-lagi aku yang salah mencoba mencari sisi Hasa yang simpati terhadap penderitaanku. Jelas-jelas dia yang paling pertama akan menari di atasnya.

"Pak, saya terlalu jetlag buat dengerin omongan Bapak." Aku melemparkan kalimat yang sama dengan yang dia berikan kepadaku sewaktu di Varenna. Tidak sama persis, tapi okelah. Aku menepuk tumpukan dokumen di sisi kanan meja Harsa yang hampir menutupi wajahnya. "Selamat menikmati dokumen dan rapat yang tidak kunjung berhenti. Bapak lembur, deh." Kalimat terakhirku bernada mengejek, begitu pula dengan senyum di bibirku.

"Kamu itu sekretaris saya, kalau saya lembur kamu juga ikutan." Jawaban sederhana Harsa melunturkan senyumku seketika. 

14/12/23

Wkwkwkwk kurang ajar si sasa. Udah mulai geter-geter perhatiannya wkwkw

 Udah mulai geter-geter perhatiannya wkwkw

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Rent a DateWhere stories live. Discover now