Damian mengeluarkan ponsel miliknya, menunjukkan foto dan menjelaskan satu per satu anggota keluarga kepada sang adik, Ziel menyimak dengan seksama sambil mencoba mengingat dan merekamnya dalam otak.

"Mengerti?" Tanya Damian.

Ziel mengangguk paham dengan mulutnya membentuk seperti huruf O.

"Abang Damian dan abang Peter?" Ulangnya sambil menunjuk Damian dan Peter bergantian, memastikan jika apa yang ia katakan adalah benar.

"Benar, pintar." Balas Damian sambil memberikan puk-puk pada surai sang adik membuat Ziel tersenyum senang.

"Apa aku salah jika berharap bayi akan seperti ini saja? Abang dengarkan, bayi memanggilku dengan normal! Bayi memanggilku abang!" Peter terlihat sangat antusias dan bangga akhirnya keinginannya terwujud.

"Pertama, jujur saja daripada abang panggilan om lebih cocok untukmu. Kedua, jika dua orang tadi mendengar apa yang baru saja dirimu katakan, abang pastikan sekarang kau pasti hanya tinggal nama." Ujar Damian sambil mengedikkan bahu jika kedua kakaknya, Andreas dan Theine benar-benar mendengar mungkin saat ini Peter sudah menjadi samsak tinju dadakan.

"Hey apa wajahku setua itu?" Lihatlah remaja tanggung itu langsung membuka ponsel miliknya, membuka fitur kamera untuk melihat detail wajahnya yang menurutnya selalu tampan dan gagah.

"Perfect." Ujarnya memuji diri sendiri.

"Konyol." Ucap Damian.

"Iri bilang bos."

"Menjauh dariku, bodoh."

"Abang sudah tidak sayang Peter ya?" Ucap Peter dengan raut sedih yang dibuat-buat membuat Damian mengernyitkan dahi dengan sudut bibir berkedut.

"Instalasi farmasi ada di lantai bawah, kau bisa pergi ke sana dan ambil obatmu."

"Siapa yang sakit?"

"Kau, sakit jiwa."

"Baiklah, aku akan mengambil dan meminum obat itu hingga overdosis."

"Sinting."

"Aw apa abang tidak rela kehilangan anak tampan ini?"

"Percaya diri sekali, abang hanya tak ingin air mata mama terbuang sia-sia karena menangisi anak tak berguna seperti dirimu."

"Sejujurnya itu terlalu menyakitkan untuk di dengar." Nelangsa Peter, Damian dengan mulut licinnya memang tidak pernah gagal.

Suara tawa yang menggema seketika menghentikan perdebatan keduanya, Ziel yang sedari tadi memperhatikan, merasa geli dengan adu bacot antara kedua abangnya itu membuat si kecil tak kuat menahan tawa.

"Wow lihat bayi nakal itu terlihat menikmati keributan ini, bukankah ini menarik? Ayo lanjutkan!

"Hentikan, bodoh." Ujar Damian, lelaki itu mulai merasa jengah dengan sepupunya yang satu ini, benar-benar tidak ingat usia.

"Ayolah abang, tugas kita di sini adalah menjaga dan menghibur bayi jadi mari lanjutkan!" Ucap Peter sambil memonyongkan bibirnya ke arah Damian.

Plak!

"Menjijikkan." Damian tanpa rasa bersalah menabok kuat wajah Peter membuat empunya memprotes sakit.

"Sakit bang! Brengsek!" Maki Peter, hidungnya terasa sedikit nyut-nyutan.

"Sialan Peter, katakan lagi!" Damian langsung menarik telinga Peter membuat remaja tanggung itu memohon ampun.

Perdebatan itu terus berlanjut dengan Ziel yang semakin tertawa terbahak-bahak, Damian dan Peter sepertinya lupa jika kata-kata mutiara dan nama-nama hewan yang mereka ucapkan pastinya terekam jelas dalam ingatan si kecil. Keduanya bahkan tak menyadari kehadiran William yang sedang berdiri di samping pintu sambil bersedekap dada dan melihat datar ke arah mereka.

Ziel Alexander Dominic Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz