43 - School

13.3K 1.5K 380
                                    

Selamat sore╰( ͡° ͜ʖ ͡° )つ──☆*:・

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat sore╰( ͡° ͜ʖ ͡° )つ──☆*:・

hayo siapa yang kemarin ga sabar liat adek masuk sekolah?

enjoy~

***

Tak terasa sudah 5 bulan Ziel tinggal di Mansion, dalam waktu sesingkat itu sudah banyak hal yang ia lakukan termasuk ikut melaksanakan ujian kesetaraan sekolah paket A dan B untuk mendapatkan ijazah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

Sebenarnya tidak perlu melakukan itu karena mengingat sekolah menengah atas yang dituju adalah milik Mattheo, Ziel bisa saja dengan mudah masuk ke sana namun bungsu Dominic itu bersikeras untuk ikut tes, ingin membuktikan bahwa ia memang layak dan mampu.

Tahun sudah berganti dan tiba saatnya Ziel masuk sekolah. Sebelum ia mengiyakan untuk bersekolah di sana tentunya ada perdebatan yang terjadi.

"Baby sekolah di sana atau homeschooling." Ujar Hendrick sedikit mengancam bungsunya.

"Tapi....." Ziel menggantung kalimatnya, jika ia bersekolah di tempat yang sama dengan sang kakak, apa bedanya dengan di Mansion? Apalagi sekolah itu adalah milik sang papi, sekolah berkedok rumah kedua. Segala tingkahnya pasti tak luput dari pengawasan keluarganya.

Percakapan dengan sang daddy tempo hari membuatnya jadi berpikir ulang dari kedua opsi yang di tawarkan tentu sekolah umum milik sang papi adalah pilihan yang tepat.

Hari ini adalah hari pertama Ziel bersekolah, dibandingkan si kecil yang terlihat paling heboh justru keluarganya. Semuanya sudah rapi dan siap mengantarkan bungsu Dominic ke sekolah dan jangan lupakan trio anak ayam yang ditugaskan untuk menjaganya. Tristan, Arkan, dan Felix pasti akan terus mengekori ke mana pun ia melangkah membuat sudut bibir Ziel berkedut kesal, mau protes pun percuma keluarganya pasti tak akan mendengarkan.

Hendrick mendekat dan menggendong bungsunya, "Siap untuk hari ini?"

"Heum!" Ziel mengangguk dengan semangat, hal yang sudah lama ia inginkan akhirnya terwujud.

"Daddy turunin adek."

"Kenapa, hm?"

"Adek kan udah sekolah kok masih digendong."

"Bayi, memangnya kenapa kalau digendong?" Tanya Harvey yang berdiri di sebelahnya.

"Malu..."

"Tidak perlu malu."

"Udah sekolah kan berarti udah gede, jadi adek ga perlu digendong lagi." Jelasnya dengan nada membujuk.

"Oh kalau begitu jangan sekolah." Ujar Peter blak-blakan.

"Heh ga gitu ya om!"

Peter mendekat dan mencubit kedua pipi sang adik dengan gemas.

"Siapa yang bayi ini panggil om?"

Ziel Alexander DominicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang