fikar's jacket

2 0 0
                                    

Tiara binar Wicaksono anak sulung dari arka Wicaksono dan nanaya Larasati. Sama halnya dengan renisa hidupnya sangat bergelimang harta. Arka- sang papi selalu menuruti apa yang diinginkan oleh anak-anaknya tapi satu yang tidak bisa dirasakan Tiara kasih sayang kedua orangtuanya.

Orang tua Tiara bukan tidak menyayangi Tiara dan adiknya, mereka bahkan sangat menyayangi anak-anaknya dan dan tidak ingin anak-anak mereka kekurangan sedikitpun. Hal itu membuat kedua orang tua Tiara bekerja keras untuk kedua anak-anak mereka sampai lupa meluangkan waktu untuk kedua putri mereka.

Kesepian itulah yang selalu dirasakan Tiara dan sang adik. Tiara sungguh sangat benci dengan kesepian dan keadaan hidupnya yang seperti ini.

Terkadang Tiara ingin membenci kedua orangtuanya namun Tiara tidak bisa karena ia sangat menyayangi mami dan papinya walaupun kedua orangtuanya itu tidak pernah meluangkan waktu untuk dirinya dan adiknya.

Tiara berjalan dengan penuh kesal dan emosi menuju fakultasnya, kejadian di kantin universitas tadi membuatnya sangat emosi, apalagi pelakunya adalah renisa hal itu membuat suasana hati Tiara menjadi sangat-sangat buruk. Sungguh Tiara sangat membenci renisa beserta teman-temannya itu.

Belum lagi kejadian semalam saat fajar yang memaksanya untuk berangkat bersama, laki-laki itu terus-terusan menerornya lewat panggilan telepon agar Tiara mengiyakan permintaan laki-laki itu. Bahkan Tiara sampai mematikan ponselnya agar fajar berhenti mengganggunya, sayangnya laki-laki itu malah datang kerumahnya malam-malam untung saja penjaga rumahnya berhasil mengusir fajar. Apalagi kejadian tadi pagi jelas-jelas Tiara sudah menolak fajar tapi laki-laki itu tetap datang dan menjemputnya.

Sebenarnya Tiara tidak mengerti kenapa laki-laki itu semakin gencar mendekatinya akhir-akhir ini. Fajar selalu mengikutinya kemanapun ia pergi dan hal itu sungguh membuatnya sangat risih. Sungguh Tiara benar-benar tidak menyukai sikap seorang laki-laki yang seperti ini.

Semakin mengingat kejadian-kejadian itu membuat emosi Tiara semakin menjadi. Sungguh dirinya sangat membenci renisa, gadis itu entah sejak kapan selalu terlihat di mata Tiara. Apalagi saat gadis itu tertawa bersama sahabat-sahabatnya hal itu lebih menyulut emosi Tiara.

Padahal semasa kecil mereka dahulu adalah sahabat. Tiara ingat sekali saat pertama kali bertemu dengan renisa dulu, mereka bahkan sangat lengket seperti perangko yang tidak bisa dipisahkan sampai duduk di bangku sekolah dasar. Tapi entah mengapa sejak berada di tingkat empat sekolah dasar semuanya berubah.

Semenjak itu mereka selalu seperti kucing dan anjing jika bertemu, bahkan hal itu terus berlanjut sampai mereka duduk di sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, bahkan sampai duduk di bangku kuliah saat ini, konflik mereka belum padam-padam juga.

Karena berjalan dengan emosi membuat Tiara berakhir dengan tidak fokus, tanpa sadar Tiara tersandung sebuah batu.

"Huwaaa" pekik Tiara.

Nasibnya sungguh sial sekali hari ini jika sampai dirinya terjatuh.

Namun sebelum jatuh seseorang menarik tangannya dan menahan pinggangnya agar tidak tersungkur, Tiara sendiri bahkan reflek memeluk orang itu. Wajah mungil Tiara menempel pada dada bidang orang yang menolongnya.

Sedetik kemudian Tiara mendongak untuk menatap orang yang menolongnya, mata Tiara mengerjap dan sedikit terkejut menatap orang tersebut.

"Mau sampe kapan Lo meluk gue kayak gini" ucap orang itu saat menyadari Tiara yang betah memeluknya.

Laki-laki itu bahkan sudah melepaskan rengkuhan tangannya dari pinggang sempit Tiara. Tapi Tiara masih asik memeluk laki-laki itu entah dalam keadaan sadar atau tidak sadar Tiara merasa nyaman didalam dekapan orang itu.

Saat mendengar hal itu Tiara langsung tersadar dan melepaskan pelukannya lalu membuat jarak dan seperti biasa Tiara akan melipat tangannya di depan dada untuk menunjukkan arogansinya.

"Lo ngapain disini?" Tanya Tiara dengan nada yang tidak bersahabat.

Pasalnya laki-laki ini berasal dari jurusan fakultas ilmu sosial tapi kenapa ia ada di daerah anak fakultas psikologi.

"Makasih" ucap orang dengan nada mengejek berlalu meninggalkan Tiara yang masih diam ditempatnya.

"Sopan Lo gitu" ucap Tiara dengan nada yang sangat kesal mendengar kalimat laki-laki itu.

Ya itu lah Tiara, bukannya malah berterimakasih kepada orang yang sudah menolongnya, ia malah marah pada orang yang menolongnya.

Langkah laki-laki itu terhenti saat mendengar kalimat Tiara, tubuh tegapnya kembali berbalik menatap Tiara dengan tatapan datarnya. Sungguh ia sebenarnya sedikit malas berhadapan dengan Tiara saat ini.

Laki-laki itu terus diam dan terus menatap datar Tiara. Ia hanya ingin mendengar kata-kata arogan apalagi yang akan keluar dari bibir tipis gadis itu.

"Kalau gua tanya harusnya Lo jawab lah, Lo bisu apa gimana?" Ucap Tiara dengan nada sangat emosi karena lelaki itu hanya diam dan terus menatap Tiara. Sungguh Tiara sangat kesal dengan tatapan datar milik laki-laki itu.

Namun tidak lama pipi Tiara tiba-tiba saja memanas karena tatapan datar laki-laki itu berubah menjadi tatapan dalam dan penuh dengan kehangatan. Entah mengapa Tiara jadi sangat merindukan tatapan itu.

"Mau sampe kapan Lo jadi orang yang arogan?" Tanya laki-laki tersebut.

"Siapa yang Lo sebut arogan?" Tanya Tiara tidak terima jangan lupakan emosinya pun kembali tersulut dikatai seperti itu.

"Lo" ucap laki-laki itu.

"Gua ga arogan" jawab Tiara tidak terima.

"Lo iya" jawab laki-laki tersebut dengan wajahnya yang kembali datar.

"Fikar Lo jangan resek kayak renisa ya" ucap Tiara menatap kesal kearah laki-laki bernama Fikar itu.

Cukup Tiara tidak ingin terus-terusan tersulut emosi dan Tiara juga tidak ingin marah-marah kepada Fikar saat ini.

Fikar- laki-laki itu mendekat ke arah Tiara tanpa banyak bicara melepaskan jaket yang ia kenakan dan menyampirkannya pada tubuh mungil Tiara setelah sebelumnya menatap baju Tiara yang terlihat sangat kotor.

"Bersihin baju Lo" ucap Fikar dengan datar lalu beranjak dari hadapan Tiara yang masih terdiam dengan perlakuannya.

"Ga jelas Lo Fikar" lirih Tiara menatap punggung tegap laki-laki yang rumahnya tepat berseberangan dengan rumah miliknya itu semakin menjauh.

Fikar lelaki itu dulu selalu menemaninya bermain saat kecil. Tiara bahkan tidak mengerti dengan apa yang terjadi diantara mereka. Entah siapa yang menjauh dirinya atau Fikar, Tiara juga tidak mengerti. Fikar dulu sering sekali menemaninya bermain saat ia kesepian dirumah bersama putri.

Laki-laki itu bahkan selalu menghiburnya dan menenangkan dirinya setelah adu mulut dengan renisa dulu, saat mereka masih duduk di sekolah menengah pertama, tapi semuanya berubah setelah mereka menginjak sekolah menengah atas. Entah apa yang membuat mereka semakin jauh. Intinya sekarang ada jarak dan batas yang tak terlihat diantara mereka.

Bahkan menurut Tiara semakin dewasa Fikar tumbuh menjadi pria yang sangat misterius dan sulit di tebak, Fikar itu sangat pendiam dan jarang sekali berbicara. Fikar bagaikan laki-laki yang tidak tersentuh oleh siapapun begitu pikir Tiara.

Tiara menggenggam erat jaket pemberian dari Fikar, bahkan hidung bangirnya dapat mencium aroma tubuh Fikar yang tertinggal pada jaket itu. Aroma yang tidak pernah berubah dan aroma ini lah yang selalu membuat dirinya tenang.

Entah ini sudah jaket milik Fikar yang keberapa, intinya laki-laki itu terlalu sering menyampirkan jaket yang ia pakai pada pundak sempit milik Tiara. Sampai sekarang pun Tiara tidak mengerti dengan tingkah Fikar yang seperti ini.

Tapi satu hal yang selalu Tiara rasakan, bolehkah Tiara merindukan Fikarnya kembali?

...

...

...

...

TBC.

tentang kitaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن